15

2.8K 426 52
                                    

Jam dilengan kirinya menunjukkan angka 06:30. Sebentar lagi bel masuk akan berbunyi tapi Naren masih terjebak obrolan tidak berujung bersama Hera di halaman belakang sekolah.

"Lo marah sama gue?" Tanya Hera dengan wajah sedih bercampur kecewa.

"Kalo udah tau jawabannya gausah nanya deh Ra." Balas Naren malas.

"Marah kenapa lagi sih Ren?"

"Anjir masih nanya juga lo?" Naren mengernyit tidak percaya. "Udahlah ga penting. Buruan mau ngapain? Bentar lagi masuk."

Hera mendekat ke Naren, memegang tangannya berusaha menarik seluruh perhatian Naren terhadapnya. "Gue minta maaf ya, gue bener-bener minta maaf Ren." Ucapnya lembut membuat Naren memfokuskan pandangannya pada Hera. Sayangnya kali ini Naren berteguh kuat tak akan termakan wajah polos dan suara merdu Hera lagi. Dia cape. "Lo bentar lagi ada tanding basket kan? Gue kasih sesuatu buat lo." Hera tersenyum menyerahkan papper bag besar bertuliskan merk sepatu terkenal.

Naren berdecak kesal, selalu seperti ini. "Apaan lagi dah ini Ra? Berapa kali gue bilang gausah ngasih-ngasih gue kaya gini. Lo paham ga sih sebenernya?!" Naren menjorok papper bag tersebut. Menolaknya untuk yang kesekian kali barang-barang pemberian Hera.

Wajah Hera terlihat kecewa, menahan tangis. "Gue beli pake uang gue sendiri Ren. Please kali ini hargai pemberian gue. Kali ini aja."

Naren menggeleng tidak percaya. "Gue tanya deh, kaya gini tuh siapa yang nyuruh sih Ra? Gue ga pernah minta juga. Lo juga tolong lah paham sekali aja maksud gue. Gue tuh ga butuh yang kaya gini." Balas Naren lelah. Hera selalu saja seperti ini, kalah berdebat maka menangis. Dasar! "Pikirin diri lo sendiri dulu dah. Lagian bukannya dipake buat yang penting-penting malah buat yang aneh-aneh kayak gini lo tuh, heran gue."

"Ga ada yang minta!" Ucap Hera sedikit emosi. "Lo ga pernah minta, tapi gue yang pengen ngasih Ren. Apa salahnya sih nerima pemberian gue sekali aja?"

Naren menatap Hera tidak percaya. Bukannya Naren jahat tidak menghargai pemberian orang, tapi memang seharusnya Hera bisa menggunakan uangnya untuk hal yang lebih berguna daripada membeli barang-barang untuk Naren yang sama sekali tak akan dia diterima. Sudah berkali-kali Naren menolak, tapi seperti Hera tidak paham juga maksud Naren.

"Udah kan, kemaren-kemaren juga udah gue terima. Tapi kayak gini tuh berlebihan Ra. Ini tuh mahal. Jangan kayak gini lah. Mending buat yang lebih penting." Maksud Naren sebenarnya baik. Lagian Naren yakin tidak sepenuhnya itu uang Hera yang digunakan.

"Kenapa akhir-akhir ini lo kayak gini sih Ren? Kayak ngejauh banget gitu sama gue?" Tanya Hera sambil menahan tangis.

"Gue tanya, lo apa gue yang ngejauh?" Pertanyaan Naren membuat wajah Hera mengernyit bingung. "Sebenernya lo anggep gue apa sih Ra? Lo bilang suka sama gue, gue kasih feedback, tapi rasanya kaya ga guna feedback gue kalo lo sama sekali ga mau terbuka sama gue." Naren sebenarnya malas membahas hal-hal seperti ini. Sayangnya akhir-akhir ini masalah ini memang sering mengganggu konsentrasi dan mentalnya.

Hera diam, menatap Naren dengan mata yang sudah bening siap mengeluarkan air mata.

"Lo lebih deket sama Jeno. Ke mana-mana sama Jeno. Apa-apa sama Jeno. Pokoknya semua masalah lo Jeno tahu, tapi gue ga boleh tahu. Kaya Ya Allah susah banget apa terbuka dikit aja sama gue?"

Hera menangis, air matanya keluar tanpa diduga. "Kan dari awal juga udah gue bilang Ren. Jeno sahabat gue. Gue juga minta waktu sama lo. Lo udah ngeiyain, terus apa masalahnya?"

Naren menyibak rambutnya frustasi. "Masalahnya Jeno juga temen gue Ra. Gue sekelas, setongkrongan, bahkan sebangku sama dia. Lo mikir ga sih apa yang dipikirin orang-orang kalo lo deket sama gue deket sama Jeno? Coba deh Ra ayuk pinteran dikit yuk."

Jeno'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang