25

2.6K 357 22
                                    

Karina berusaha fokus dengan nampan berisi air mineral gelasan yang tengah dia angkat sekarang. Dengan tanpa meminta izin pada Jeno yang tentu saja tidak mau ambil pusing juga, Karina bersedia dengan ikhlas membantu proses pemakaman nenek Hera pada sore itu. Tatapannya sesekali melirik Hera yang tengah menangis dengan Jeno dan kakaknya di samping kanan dan kirinya.

"Lagian lo ngapain ke sini si oon?" Bisik Mentari membuat Karina tersadar dan mendekat duduk kearahnya.

"Emang ga boleh ya?" Tanyanya polos takut-takut kalau memang kehadirannya tidak dibutuhkan.

"Ya bukan, tapi kan kalo kaya gini lo jadi liat momen Hera menye-menye lagi ke Jeno."

"Heh, hus!" Tegur Karina pada Mentari. "Gapapa kan namanya lagi berduka. Gue ga ada pikiran macem-macem sumpah. Niat bantu doang."

"Dih ya Allah gue tau ini dosa banget, kurang ajar juga. Tapi lo liat deh dari di pemakaman sampek sekarang si Hera glendotan mulu sama Jeno. Nah itu ada kakaknya aja dianggurin." Terang Mentari sambil berbisik.

Karina menatap ke arah Hera yang sedang menangis di bahu Jeno. "Ya wajar lah Tar. Gimana sih lo!" Balas Karina kesal. Dia benar-benar tidak ada maksud apa pun. Dia niat membantu karena dia pikir dia juga teman Hera. Walaupun pernah memiliki hubungan yang kurang baik, tapi setidaknya dia juga turut berbela sungkawa atas meninggalnya nenek Hera. Belum lagi semua temannya seperti Naren, Haekal, dan Refani juga tengah berada di sana untuk berbela sungkawa. Rasanya tidak enak kalau seenak jidat Karina tidak datang dan terkesan tidak peduli.

"Terserah deh." Mentari beranjak menuju dapur untuk melayani tamu yang kembali masuk menyisakan Karina yang kembali menatap Jeno dan Hera yang berada di sudut ruang keluarga rumah Hera. 

***

Jam digital di ponselnya menunjukkan angka 10, hari sudah malam dan Karina masih terjebak di toko depan gang rumah Hera yang bahkan sudah tutup beberap menit yang lalu.

puluhan kali dia mengecek isi ponselnya mengaharap ada balasan dari Jeno tentang keberadaannya. Namun nihil bahkan sampai sekarang cowok itu belum membaca pesan darinya. Karina menggigit kuku-kuku jarinya merasa cemas. Setelah isya' Karina mencoba menghampiri Jeno yang baru saja keluar dari mushola, menepuk bahunya untuk menenangkan. Dan Jeno pun membalas dengan senyum yang biasanya dia berikan kepada Karina. Katanya nanti dia akan mengantar Karina pulang maka dari itu Karina dengan gen budak cinta bodoh yang menempel dalam dirinya bersedia menunggu sampai selarut ini padahal tadi teman-temannya seperti Naren dan juga Mentari sudah menawarinya tumpangan gratis.

"Anjir batre gue abis." Dengusnya kesal bercampur takut. Lampu toko mulai meredup dan kehidupan di sana juga mulai sepi karena hampir tengah malam. Dia sengaja berkata kepada orang tuanya untuk jangan mencari karena izin ke rumah teman yang sedang berduka. Belum lagi sore tadi dia juga ikut ke makam dan semakin menambah ketakutannya akan kegelapan malam.

Karina duduk di teras toko, kedua tangannya menggenggam erat ponsel yang bahkan sudah mati. Dia bahkan tidak bisa mengecek jam berapakah sekarang. Mau kembali ke rumah Hera juga takut karena dia bukan siapa-siapa. Takutnya malah menyusahkan karena Hera juga sedang berduka. Kepalanya tertunduk takut, rasanya ingin menangis tapi dia juga sedang berpikir mati-matian apakah kembali ke rumah Hera juga jalan terbaik.

Suara motor berhenti di depannya membuat Karina mendongak. Setetes air matanya turun melihat Naren yang menatapnya kesal masih menaiki motornya.

"Lo nungguin apa sih bego?" Tanya Naren kesal sendiri.

Karina menghapus air matanya yang turun. Bersyukur penarangan di sana minim sehingga kemungkinan besar Naren tidak sadar kalau dia menangis. Dia melonjak semangat menghampiri Naren. masih sempat melempar senyum polos yang sama sekali tidak menggambarkan perasaannya saat ini.

Jeno'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang