17

2.6K 420 75
                                    

Hari Jumat, pelajaran olahraga baru saja selesai. Minggu ini adalah penilaian akhir tengah semester untuk praktek olahraga. Karina yang biasanya terlihat ogah-ogahan menjalani pelajaran satu ini tiba-tiba menjadi manusia teraktif yang haus akan nilai praktik yang baik. Bukan apa-apa, masalahnya ujian tulis penjaskes di sekolahnya adalah ujian teraneh menurutnya di mana soalnya cenderung tidak bisa dipahami otak. Ya, satu-satunya cara dia harus ambis di praktik yang sayangnya dia juga tidak terlalu jago.

"Rin anting lo ilang apa emang lo sengaja pake model satu anting gitu?" Giselle mengernyit menatap bagian telinga kanan Karina.

Reflek Karina memegang telinga kananya dan panik karena satu antingnya hilang. "Mampus gue. Ilang anjir!"

"Lo sih brutal banget tadi." Ucap Giselle sambil melipat baju olahraganya.

"Aduh mampus dimaki emak gue nih pasti." Sesalnya sambil ikut melipat asal pakaian olahraganya.

"Jatoh kali di lapangan pas voli tadi. Lo kan sempet kena bola Laura tadi."

Karina berpikir sejenak. "Apa iya ya? Gue cari dulu deh, nitip baju gue ya Sel."

Giselle mengangguk bersamaan dengan Karina yang telah meluncur cepat menuju lapangan belakang sekolah.

Harap-harap cemas karena yang hilang anting emas dan harganya lumayan bisa membuat dia dimaki seminggu penuh oleh mamanya. Dengan cepat dia membuka pintu besi satu-satunya akses menuju lapangan belakang yang sangat luas. Alamat jam istirahatnya terbuang sia-sia.

Belum sempat dia menginjakkan kakinya di lapangan, matanya tak sengaja melihat seseorang sedang duduk di kursi tepi lapangan. Wajahnya tidak terlihat karena memang jaraknya sangat jauh dari tempat Karina berdiri. Dengan ragu dia berjalan menuju orang tersebut karena satu-satunya tempat yang menjadi kemungkinan besar dia kehilangan antingnya adalah tempat itu.

"Anjir!" Umpatnya pelan menyadari siapa yang sedang duduk di sana, Jeno. Dia tengah duduk sambil memerhatikan Karina yang terus berjalan kearahnya. Bukan maksud ingin menghampiri, masalahnya dia sudah terlanjur jauh melangkah, sungkan kalau tiba-tiba putar balik. Apalagi hanya mereka berdua di sana.

"Kenapa Rin?" Tanya Jeno formalitas ketika Karina sudah sampai didekatnya. Raut bingung juga tercetak jelas di matanya.

Karina tersenyum miris. Kemarin orang yang sedang duduk didepannya ini adalah orang yang membuatnya takut setengah mati karena memaki dan mendorong Naren dengan kasar. "Nyari barang. Lo ngapain di sini?" Jawabnya tanpa melihat Jeno dan lebih fokus menyisir lapangan mencari antingnya.

"Ini?" Tanya Jeno mengangkat antingnya dengan tatapan penuh tanya.

Mata Karina berbinar. Sedikit bersyukur karena antinya ketemu. "Iya ya ampun." Katanya senang menghampiri Jeno hendak mengambil antingnya.

Karina hendak mengambil anting tersebut, tapi Jeno kembali menarik tangannya. "Duduk sini dulu baru gue kasih."

Karina menatap Jeno tanpa ekspresi. Dia berdiri membeku bingung hendak bagaimana. "Gue mau cerita, bentaaaarrr aja." Kata Jeno membuat Karina mendesah lelah. Terpaksa dia duduk di samping Jeno.

"Kenapa?" Tanyanya to the point.

Jeno terkekeh mendengar suara Karina yang terkesan ketus. "Lo marah sama gue? Apa takut?"

Karina menatap Jeno datar. "Dua-duanya." Jawabnya lugas tanpa jeda sedetik pun.

"Gara-gara kemaren?"

"Kalo udah tau ga usah nanya deh Jen."

"Gue minta maaf ya." Jeno menatap dalam Karina, tubuhnya menghadap Karina sepenuhnya.

Jeno'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang