34

1.8K 195 5
                                    

Sore itu dengan segala proses dan banyak pertimbangan dari berbagai sisi, akhirnya waktunya datang juga. Pengumuman SNMPTN yang membuat hari-harinya tak tenang akhirnya datang juga. 

Setelah mempertimbangkan banyak hal, Karina memutuskan pilihannya di satu kampus yang sebenarnya bukan menjadi rencana awalnya selama ini. Hal ini karena kehendak ayahnya yang tak mau terlalu jauh dari anak perempuannya. Universitas Indonesia, jauh dari segala angan dan cita-cita yang selama ini ada dalam rancangan otaknya. 

Jeno pun hanya bisa mendukung, toh satu sisi dia juga untung itu tandanya jika memang nanti SBMPTN dia juga lolos di sana maka mereka tak akan terhantui dengan momok LDR.

"Aku mau minta maaf dulu kalau aku ga lolos. Aku janji belajar lebih keras buat SBM ya Ayah Mama." Katanya masih mengenakan mukena dan air mata yang sudah tertahan di sudut matanya.

"Kamu ngomong kaya gini udah empat kali Kak, bismillah ayo gapapa udah belajar ikhlas kan?"

Karina mengangguk pasrah. Dari tempatnya duduk di meja belajarnya, dia menoleh ke Jeno hanya untuk meminta kekuatan dari senyum remaja itu.

Sedari tadi sebenarnya Jeno hanya bisa diam. Sumpah demi Tuhan dia juga deg-degan setengah mampus. Senyumnya pun semakin redup setelah melihat banyaknya kabar hasil SNM di grup angkatan.

"Bismillah bisa Rin." Katanya mau tak mau mendekat untuk menguatkan.

Karina menarik napasnya kuat. Mengumpulkan segala kekuatan yang masih tersisa. "Ma tolong klik-in deh Ma, aku ga sanggup." Katanya benar-benar tak bisa memaksakan diri.

Mamanya menatap Karina datar, semua orang sedang tegang untuk sekarang pun Hiji yang pura-pura keren duduk di ranjang Karina.

Dan setelah tombol itu dipencet, keheningan mulai menyeruak. Ada sekitar tiga detik mereka hanya diam menatap layar tersebut. "ALHAMDULILLAH!" Pekik penuh haru sambil menahan tangis. Mengeratkan pelukan pada anak perempuannya yang sedari tadi tak berani menatap layar laptop di depannya.

Suara tangisan mulai menguar, Karina yang bahkan belum sempat melihat apa isi pengumuman tersebut hanya bisa menangis sesenggukan di dekapan sang Mama. "Alhamdulillah Kak, terima kasih kerja kerasnya selama ini." Ucap Ayahnya mencium puncak kepala Karina.

Hiji pun tak kuasa menahan air mata melihat suasana haru keluarga sekarang. Pelan dia mendekat dan mengelus pelan puncak kepala kakak perempuannya. "Di lihat Kak itu tulisannya merah." Katanya pelan memecah tangis haru yang ada.

Secepat kilat Karina menatap layar laptopnya dan secepat kilat juga pukulan keras tangannya mengenai lengan Hiji. "IH GILA!" Katanya reflek kesal karena tulisannya hijau. Hiji ini memang kurang ajar sekali.

"Adek udah tau Kakaknya masih gemeteran." Lerai mamanya membuat Hiji tersenyum kecil.

"Lagian pengumumannya aja belum di lihat udah nangis aja."

"Kesel." Gerutu Karina menatap sinis Hiji yang masih saja tersenyum jahil.

Karina memilih menghiraukan Hiji dengan muka tengilnya. Tatapannya memutar mencari sumber kekuatannya yang lain. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Gue jelek banget jangan lihat dulu." Katanya memohon kepada Jeno yang sedari tadi sudah senyum semanis gula ditempatnya berdiri. Menunggu giliran untuk mengucapkan selamat.

"Mau pelukan tuh yah. Ada Ayah mah ga berani peluk-peluk. Coba kalo ga ada Ayah, hmm.." Celetuk Hiji kembali masih dengan muka menyebalkannya.

"Apaan sih Ji."

"Om izin om peluk bentar ya." Izin Jeno konyol membuat satu ruangan menyemburkan tawanya. 

Gestur mengayunkan tangan tanda mempersilahkan membuat Karina dan Jeno saling mendekat dan menautkan pelukan singkat. "Congrats sayang, ketrima kan? Makanya apa-apa tuh jangan pesimis dulu."

Jeno'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang