22

3K 426 33
                                    

Barisan rumus dan angka yang ada di papan tulis sama sekali tidak menarik perhatiannya kali ini. Sangat jarang Karina melamun di pelajaran kecuali kalau memang sudah siang dan merasa ngantuk. Ini bahkan masih jam 10 pagi dan pikirannya sudah ke mana-mana.

Tak lain dan tak bukan Jeno lah yang sekarang menjadi objek yang ada otaknya. Pagi tadi Jeno sakit dan menolak untuk sekolah. Jangankan sekolah, ditawari untuk diantarkan pulang dengan baik-baik oleh ayahnya saja Jeno tidak mau. Karena inilah Karina pusing bukan main. Dia takut dituduh yang tidak-tidak. Sumpah ini mah.

Pintu kelasnya diketuk membuat setiap orang menoleh ke sumber suara.

"Permisi Pak Maghfur, saya izin memanggil Karina, dapet titah dari Bu Kepsek." Ternyata Bu Ranti selaku guru piket hari ini.

Karina kaget, seumur hidup dia sekolah belum pernah dia merasakan di panggil kepala sekolah kalau tidak pas upacara, itu juga karena ada kepentingan. Karina jadi takut kalau ini berhubungan dengan Jeno. Jantung Karina sampai berdebar dua kali lebih cepat.

"Oh iya Bu silahkan." Balas Pak Maghfur diiringi Karina yang meminta izin mengikuti Bu Ranti menuju ruang kepala sekolah.

Dia berjalan kaku di belakang Bu Ranti. Rasanya sangat aneh ketika harus berjalan ke ruang kepala sekolah kecuali panggilan pra dan pasca lomba. Karina takut, jujur dia takut.

Pintu kepala sskolah terbuka dan betapa kagetnya dia melihat Naren, Haekal, Refani, dan Hera yang sudah duduk tegang di sana. Mampus! Batin Karina.

"Karina duduk Nak." Bu Kepsek menyuruh Karina duduk di salah satu kursi yang ada di sana. Posisinya menghadap langsung ke dua orang tua yang sudah pasti Karina sangat yakin adalah orang tua Jeno.

"Karina... Perkenalkan mereka ini orang tua Jeno. Jadi saya menyuruh kamu ke sini ingin bertanya, kamu tahu Jeno ada di mana ga Nak? Apa kemarin Jeno sempat menghubungi kamu?" Jelas Bu Kepsek diakhiri pertanyaan menggemparkan untuk Karina.

Karina menahan napasnya, dia harus jujur. Mau tidak mau kan? "Sebelumnya mohon maaf Bu Tanti dan Papa Mama Jeno, saya tidak memiliki maksud apa pun, Jeno ada di rumah saya kebetulan dari kemarin dia menginap di rumah saya." Jelasnya dengaan sopan, melempar tatapan ke kepala sekolah dan kedua orang tua Jeno.

Kedua orang tua Jeno sedikit tersentak mendengar penuturan Karina. Ibu Jeno sampai menangis lega sambil memegang lengan suaminya. "Alhamdulillah." Ucap kedua orang tua Jeno dan seisi ruangan penuh rasa syukur. "Gimana keadaannya?" Bahkan secara tiba-tiba Ibu Jeno duduk di samping Karina, menggenggam erat tangannya.

Karina tersenyum, sedikit merasa bersalah juga melihat kekhawatiran dari kedua orang tua Jeno. Salah Jeno sendiri tidak mau mengaktifkan ponselnya, tidak mau mengabari siapa-siapa. Manja dasar!

"Alhamdulillah Tante Jeno baik kok. Cuma dari semalem agak demam." Karina melirik sekitar. "Kalau boleh saya pengen ngobrol tentang ini dengan Om dan Tante, cuma kurang nyaman kalau di lingkungan sekolah, jadi mungkin boleh ketika di luar?"

Mendengar itu pun ayah Jeno langsung bertindak, "mohon maaf Bu, apakah tidak apa-apa kalau saya keluar sebentar dengan Karina? Saya janji akan kembali sebelum jam sekolah selesai."

Karina melihat situasi yang memang cukup penting, akhirnya kepala sekolah mengizinkan Karina mengobrol lebih privasi dengan kedua orang tua Jeno.

Mereka memilih salah satu restoran di dekat sekolah. Awalnya Karina ragu mengenai tindakannya. Tapi kalau tidak begini Jeno tidak akan sadar.

"Jadi sebelumnya mungkin lebih sopannya saya memperkenalkan diri saya dulu ya Om, Tante. Saya Karina salah satu teman Jeno. Kebetulan kemarin saya liat Jeno ujan-ujanan di jalan kayak orang linglung makanya saya bawa pulang." Jelas Karina setelah pesanan mereka datang.

Jeno'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang