21

2.8K 442 35
                                    

Karina mengetuk pintu kamar Hiji yang sekarang ditempati oleh Jeno. Mamanya baru saja keluar dari sana dan menyuruh Karina membawakan makanan dan kotak P3K.

Pintu terbuka, Jeno lebih segar dari sebelumnya. Bibirnya agak sedikit pucat dan rambutnya basah berantakan.

"Makan dulu Jen." Karina masuk menaruh nampan berisi piring dan kotak P3K di meja belajar Hiji.

"Makasih ya Rin."

Karina menoleh, mendekat ke Jeno, menyuruhnya untum duduk di ranjang. "Ada apa sih sebenernya?"

"Jangan marah ya tapi kalo gue cerita."

Karina menarik napasnya pelan, "kalo soal Hera mending lo makan dulu deh, gue mau latihan kontrol emosi." Ucapnya kemudian.

Jeno meringis, senyum tipis terbit dibibirnya. "Nih makan dulu, abis itu obatin lukanya, baru cerita sama gue, gue tungguin sampek kelar."

"Gue ga bisa makan sendiri."

"Jeno please yang sakit muka lo bukan tangan lo."

Jeno tertawa pelan, "yah padahal ngode biar disuapin."

"Ga usah ngadi-ngadi. Buruan makan biar bisa cepet istirahat."

"Lo di sini kan tapi?"

"Iya."

"Tidur sini, sama gue?"

Karina menatap Jeno jengah. "Jangan mulai, buruan makan."

Jeno berdecak, Karina mode galak memang bisa membuatnya tak berkutik.

Ucapan syukur ratusan kali dia ucapkan ketika bertemu Karina di jalan. Awanya dia masih kaget, bingung, lingkung karena sama sekali tidak mengira kalau papanya akan semarah itu. Syukurnya orang tua Karina sangat pengertian, sepanjang dia duduk di ruang tamu, ibu Karina tak henti-hentinya mengucap istighfar memegag tangannya yang dingin dan membisikkan kata-kata yang menenangkan. Ayah Karina juga sangat pengertian tidak menanyainya tantang apa pun dan bahkan menyuruhnya untuk menginap.

Dan Karina, dia masih dan akan selalu menjadi pusat perhatiannya. Bahkan tanpa berdoa semoga ada orang yang menemukannya di pinggir jalan. Karina benar-benar datang.

"Sini gue obatin dulu." Kata Karina menyuruh Jeno untuk menghadap kearahnya.

Jeno tersenyum, "tumben biasanya kudu dipaksa dulu."

"Yaudah kalo ga mau obatin sendiri."

"Iya Karina ya Allah gini amat punya cewe."

Karina melengos, menatap Jeno sebentar, menghiraukan bualan cowok yang seminggu ini berhasil membuatnya pusing. Belum lagi secara tiba-tiba dia lontang-lantung di jalan seperti orang gila. Bisa-bisa Karina yang gila kalau seperti ini.

Karina mengoleskan salep di pipi kiri Jeno yang membiru, tangannya megelus lembut setiap jengkal wajah Jeno yang memar. Matanya fokus terhadap luka yang mulai megering. Karina meringis, dari mana Jeno mendapat luka-luka ini? Dia meniup luka Jeno yang sudah diolesi salep. Senyum di bibir Jeno membuat Karina menatapnya sendu. Tanganya mengelus bibir Jeno yang robek tak terlalu parah. air matanya memaksa turun, tak tega melihat kondisi Jeno yang seperti ini.

Sedari tadi Jeno berusaha menahan senyum memperhatikan wajah Karina yang berjarak sangat dekat dengannya. Namun dia gagal, pada akhirnya rasa bahagia memang sulit untuk disembunyikan. Dia benar-benar jatuh kepada Karina, dia akui dia membutuhkan Karina untuk bisa menjadi lebih baik. Dan ketika tangan Karina dengan lembut menyentuh bibirnya, Jeno tidak bisa menahannya lagi. Dia mendekat, mengecup bibir tersebut, hanya satu kecupan tidak lama tapi tidak cepat juga. Hanya cukup untuk menyalurkan betapa rindunya dia kepada Karina.

Jeno'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang