14

2.8K 420 31
                                    

Sabtu adalah hari berjayanya bagi para penggiat ekstrakurikuler. Pada dasarnya, hari sabtu disekolahnya memang dikhusukan untuk kegiatan ekstrakurikuler bagi siswanya. Maka tidak heran setiap Sabtu sekolah akan ramai dari pagi sampai menjelang maghrib. Semuanya berkumpul untuk saling sapa dan beraktivitas di bakat dan minat masing-masing.

Sama dengan yang lain, Karina juga tengah sibuk dengan kegiatan ekstranya. Karina sebenarnya tidak pandai menari, dari SMP dulu juga dia cenderung memilih aktivitas yang lebih ilmiah seperti KIR atau robotik. Namun di SMA ini dia ingin mencoba hal baru, dan ketika ada pagelaran Saman ketika MOS, Karina benar-benar tertarik dan berminat untuk bergabung. Awalnya memang malu dan kaku, tapi lama-lama tanpa terduga Karina malah masuk sebagai anggota inti tari Saman di sekolahnya. Biasanya, anggota inti adalah yang akan ikut berpartisipasi di setiap pentas entah itu di sekolah maupun luar sekolah. Lumayan juga ketika pentas di luar sekolah dia akan mendapat uang pesangon walaupun tidak seberapa.

"Sumpah ya gue ga paham sama Bu Sinta, maksudnya apa coba?!" Karina meringis mendengar teriakan Mentari – ketua ektra saman. Dia sedang frustasi sekarang karena tiba-tiba Bu Sinta – pembimbing ekstra saman memasukkan anak-anak kelas 10 ke dalam grup inti yang akan tampil di balai kota minggu depan. Masalahnya adalah, waktunya terlalu mepet.

Karina mendekat pada Mentari, mencoba menenangkan. "Sabar Tar. Mau gimana lagi orang Bu Sinta yang nyuruh juga."

"Nggak... gini lo Rin maksud gue, kalau nih ditambahinnya dua minggu kemarin gue si oke. Nah ini seminggu kurang baru ditambah anggota, mana anak kelas 10, gimana gue ga gila?!" Ucapnya menggebu dengan ekspresi siap melahap siapa pun yang hendak mengganggunya.

"Udah gapapa nanti kan gue bantu sama anak-anak. Jangan kayak gini ah, anak kelas 10 pada ngeri liat lo." Ucapnya sambil melirik tidak enak ke anak-anak kelas 10 yang berdiri di sudut ruangan sambil menunduk takut. Kasihan juga padahal bukan salah mereka.

Bukan malah mereda, Mentari semakin menggebu. Dia melempar rambut panjangnya ke belakang, "biarin aja. Biar mereka paham harus gercep. Nih awas aja nih kalo sampek pada lola gue maki di depan yang lain. Jangankan anak kelas 10, temen gue aja yang salah gerakan gue bantai, apalagi mereka." Sambil melirik sinis anak-anak kelas 10.

Karina tertawa garing, "gapapa kok namanya juga latihan pasti ada salah-salahnya." Katanya mencoba menenangkan. "Sini aja gapapa. Kita ukur tinggi badan dulu." Karina mempersilahkan anak-anak kelas 10 mendekat.

"Ka maaf tapi aku ga bisa latihan tiap hari gara-gara ada les." Ucapan salah satu adik kelas tersebut mampu membuat emosi Mentari naik ke level ubun-ubun.

"Tuh kan Rin! Tuh gimana gue ga stress anjir!" Keluhnya emosi. "Lo juga ditunjuk iya-iya aja udah tau konsekuensinya latihan tiap hari. Gitu masih diiyain. Ga kasian lo ama gue!" Bentaknya pada adik kelas tersebut sampai membuatnya menunduk, sama sekali tidak berani menatap ke Mentari dan Karina.

"Kenapa ga bilang sama Bu Sinta tadi?" Karina mencoba bertanya dengan intonasi yang lebih halus.

"Aku gatau juga Ka masalahnya. Aku kira pentasnya sehabis UTS, ternyata sebelum UTS." Jawabnya takut.

"Makanya apa-apa tuh tanya, diem aja lo!" Maki Mentari pada adik kelas tersebut.

"Tar jangan kayak gini dong." Karina mendekat pada Mentari, mencoba menenangkan kembali. "Yaudah nanti coba di diskusiin lagi sama Bu Sinta ya." Ucap Karina mencari jalan tengah.

"Lah! Jangan kita lah Rin, suruh dia aja sendiri- ..."

"Assalamualaikum..." Belum sempat makiannya pada adik kelas tersebut selesai, suara pintu sanggar yang diketuk membuat Mentari dan Karina mengalihkan pandangannya ke sana.

Jeno'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang