10

3.1K 463 20
                                    

Karina mengetukkan pensilnya ke meja. Pandangannya kosong menuju luar kelas yang kebetulan terdapat pohon jambu. Menerawang jauh sekiranya bagaimana jika dia tidak menang ketika di provinsi nanti? Bagaimana jika semua harapan yang orang-orang limpahkan kepadanya ternyata terpatahkan? Karina pusing, jujur.

"Napa lo?" Tanya Giselle kembali dari kantin.

"Titipan gue mana?" Alih-alih menjawab, Karina menagih batagornya.

Giselle berdecak kesal sambil menyerahkan plastik berisi batagor, "nih, makasih lo sama gue, ngantri lama banget itu."

"Iyaaa makasih yaaa."

"Yang di provinsi kapan dah Rin?" Tanya Giselle mengingat Karina sebentar lagi harus mewakili kota menuju provinsi untuk olimpiade kimia.

"Minggu depan." Jawab Karina sambil memakan batagornya.

"Buset cepet amat."

"Iya kan. Gue takut tahu nggak sih Sel."

"Deg-degan ya?"

"Iya anjir, kalo gue kalah malu ga lo punya temen kek gue?"

Giselle menatap Karina sinis. "Ya iyalah."

Karina berdecak, ikut menatap sinis Giselle yang sekarang tengah mengaca untuk yang keseratus kalinya dalam hari ini. "Idih najis lo."

"Canda beb ya Allah."

"Pusing gue, kayak tiba-tiba gue nyesel dapet juara satu kemaren."

"Apaan sih mulai halu lo." Kata Giselle.

Karina tertawa, kali ini tawa yang dipaksa. Jujur dia memang sedang pusing memikirkan masalah olimpiade. Semua waktunya terkuras habis untuk persiapan menuju provinsi nanti. Beban pikirannya semakin bertambah di mana hanya dirinya sendiri dari sekolahnya yang akan mewakili menuju provinsi. Belum lagi segala harapan dan doa dari teman-temannya yang berkeinginan Karina bisa sampai nasional. Kalau boleh jujur dia capek. Tapi kembali lagi, ini pilihannya kan? Dari awal ini yang dia mau, jadi apa pun konsekuensinya dia harus bisa menerima.

"Oh iya Sel." Ucap Karina mencoba mengalihkan topik pembicaraan sebelum dalil-dalil nasehat Giselle yang menyayat hati terdengar.

Giselle menatap Karina penuh tanya, "kenapa?"

Mulut Karina terbuka hendak berbicara, "Ga jadi deh." Karina menggeleng. Awalnya dia ingin bertanya apakah Giselle pernah memberi hadiah kepada Haekal atau tidak, soalnya dia juga mau mencari referensi hadiah untuk balas budi ke Jeno. Tapi tidak jadi karena Giselle julid, malah jadi nambah pikiran nanti kalau Giselle tahu dia ingin memberi Jeno hadiah.

"Gue tampol ya. Apaan buruan."

Karina meringis melihat Giselle yang mulai emosi. "Ga penting sih."

***

Karina dilanda panik sekarang, dia harus ke balai kota untuk konfirmasi keberangkatannya ke provinsi tetapi Jeno sampai sekarang belum membalas pesannya. Jam menunjukkan pukul 4 sore, seharusnya dia sudah berada di balai kota sekarang, tapi karena kelamaan menunggu balasan Jeno, dia terjebak di depan ruang musik yang bahkan tidak ada orang satu pun. Bukannya dia bodoh tidak mau memesan ojek online, masalahnya janji, dia janji akan diantar Jeno hari ini, kalau tiba-tiba dia sudah di balai kota padahal Jeno sedang menunggunya di sekolah kan tidak enak. Tapi kalau ujung-ujungnya seperti dia mengakui kalau dia bodoh.

"Lah Rin ngapain?" Karina bersorak mengucap syukur dalam hati melihat Naren yang berjalan dengan pandangan penuh tanya menghampirinya.

"Ren lo tahu Jeno ke mana nggak? Gue chat, telpon ga bales." Tanyanya panik.

Jeno'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang