35

4.1K 296 15
                                    

Jeno menatap malas ponsel yang terus berdering di nakas samping ranjangnya. Egonya masih tidak terima jika Karina akan semenajubkan ini setiap harinya. Belum lagi yang mendekati Karina sudah seperti barisan tentara akan berperang.

Bukannya Jeno tidak suka atau kurang bersyukur apalagi sampai iri dengan semua yang Karina dapatkan. Kalau iri atau tidak suka kenapa tidak dari jaman SMA saja? Toh dari dulu pun Karina sudah menakjubkan. Hanya saja lingkup dan lingkungan mereka semakin luas sehingga banyak orang datang dengan kualitas dan kualifikasi yang mumpuni. Jeno hanya takut Karina berpindah atau berubah pikiran karena semua paparan kemegahan yang sekarang ada di depannya.

"Anjir nelponin mulu sih ini orang!" Kesal Jeno melihat nama 'Jeno's' terpampang terus-terusan di layar ponselnya.

Dia mengambil ponselnya, membaca barisan pesan Karina yang sudah mencapai 100 lebih bubble untuk hari ini saja. Semuanya tidak terbalas oleh Jeno.

'Aku nunggu kamu di bandara sampek kamu jemput aku.' Muncul satu lagi pesan dari Karina, mungkin sadar Jeno sudah membuka pesannya.

"Shit!" Umpatnya kesal. Karina landing pukul 3 sore tadi dan sekarang sudah pukul 9 malam. Jeno sengaja mengabaikan pesan Karina karena ingin meyakinkan dirinya sendiri kalau dia memang mampu dan pantas untuk Karina. Apalah daya Karina selalu berusaha menggagalkan usaha Jeno dua minggu ini dengan merecokinya pesan dan telpon tak terbalas.

"Orang gila!" Umpat Jeno marah. Dia bahkan sudah menyelesaikan tugasnya, makan, nongkrong, main game, tapi Karina malah masih di bandara menunggu bedebah seperti dirinya datang menjemput.

Dengan terburu dia segera bergegas mengemudikan mobil menuju bandara yang Karina maksud. Jaraknya jauh dan akan memakan waktu beberapa lamanya. Membaca pesan Karina yang tak akan beranjak jika bukan dirinya yang menjemput membuat Jeno kalang kabut. Jangankan berbenah diri, dia bahkan masih mengenakan kaos pendek dan celana pendek saking terburunya.

"Lagian bukannya balik ke rumah!" Gerutu Jeno masih kesal menghadapi sifat keras kepala Karina. Jarak antara Depok ke bandara bisa menempuh waktu hampir satu jam, sedangkan jarak rumah Karina dengan Bandara hanya memakan waktu beberapa menit saja.

Setelah hampir menempuh waktu setengah jam lebih akibat ngebut dengan kalang kabut. Mobil Jeno terpakir juga di lahan parkir khusus mobil di bandara. Masih dengan terburu, dia bergegas menuju ruang tunggu yang kemungkinan besar menjadi tempat Karina menunggu kedatangannya.

Matanya menelisik semua kursi yang ada di ruang tunggu dan saat titiknya terkunci pada satu objek terbaik di sana, napasnya berhembus lega. 

Karina tengah duduk dengan tenang di sana. Wajahnya yang putih polos tak terlihat lelah sama sekali. Rambutnya dia ikat tinggi dan jaket abu-abu yang Jeno yakini adalah miliknya membungkus rapi tubuh ramping gadisnya.

Langkah Jeno terhenti ketika hendak menghampiri kekasih yang sudah membuatnya overthinking setengah mati itu. Matanya seakan tak percaya mendapati Dexan - yang mana adalah kakak tingkatnya di kampus. Jeno kurang paham dia jurusan apa, yang jelas dia anak teknik. 

Ponselnya kembali bergetar, Karina menelponnya lagi tapi sambil berbincang santai dengan Dexan yang ada di sebelahnya. Posisi Jeno yang memang sudah dekat dengan mereka membuat Karina mengalihkan pandangannya karena menyadari dering ponsel yang sangat dia hapal.

Karina dengan semangat berdiri dan tersenyum menyambut Jeno yang mau tak mau berjalan menghampirinya.

"Lama banget." Kata Karina tenang sambil masih tersenyum. Tak ada raut marah yang tercetak di wajahnya.

Jeno melengos, dia lebih mengarahkan atensinya pada Dexan yang juga ikut berdiri menyambut kedatangannya.

"Gua tadi sengaja nemenin soalnya ga mau gue ajak balik, kasian soalnya sendirian." Jelas Dexan sambil menjabat tangan Jeno.

Jeno'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang