Hari ke hari minggu ke minggu bulan ke bulan terlewati. Semua manusia yang ber-title anak kelas 12 mulai merasakan bagaimana sibuk dan paniknya mereka mempersiapkan masa depan. Kelas mereka mulai diacak kembali sesuai dengan peminatan UN, yang mana dalam hal ini mereka benar-benar digenjot habis-habisan untuk bisa lulus dan mendapat nilai baik demi mempertahankan dan meningkatkan akreditas sekolah.
Try out dan berbagai tes masuk sekolah tinggi sudah mulai terlihat di depan mata. Saringan tahap pertama SNMPTN pun sudah mulai ada. Beban berat sebenarnya, tuntutan datang dari siapa saja, para guru, sekolahan, dan tentunya orang tua yang berharap anaknya bisa masuk universitas atau sekolah tinggi impian mereka.
Hubungan percintaan mulai merenggang, kasus putus karena ingin fokus pun mulai menjadi gosip bertebaran di mana-mana. Syukurnya pasangan yang menjadi topik panas setahun ke belakang mampu mempertahankan eksistensinya menjadi pasangan sejoli menghadapi gempuran rusuhnya beban kelas 12.
Satu per satu pelan-pelan jalan mereka mulai terlihat menuju jauh. Semua kelas paralel dipastikan lolos putaran pertama SNMPTN melihat track record nilai mereka. Termasuk di sini Karina, Giselle, Mentari, Hera, Refani, mereka semua medapat satu tiket menuju masa depan.
Sayangnya Jeno, Naren, dan Haekal masih belum beruntung. Mau tak mau mereka harus ikut SBMPTN atau tes lain untuk mengejar cita-citanya. Giselle juga memutuskan tak mengambil SNMPTN-nya karena dia fokus mengejar mimpi kuliah di Jepang, mengikuti jejak ibunya dulu.
"Cape banget otak gue Rin." Keluh Jeno menyerahkan beban kepalanya ke paha Karina yang tengah selonjoran di ruang tengah rumahnya.
"Sama Jen."
"Lo fokus ngajarin gue aja sih, pasti ketrima di Unair mah."
"Hus jangan gitu ah, gue takut ga masuk."
"Masuk kata gue juga, orang lo ada prestasi ini."
"Tetep aja ga PD gue Jen."
Jeno berdecak sebal. Karina mendekati lulus bawaannya pesimis setiap hari. Takut gagal masuk Unair jalur undangan, takut tidak lulus, takut Jeno gagal SBM, semua takut deh. Jeno saja yang nilainya biasa-biasa saja optimis masuk UI, masa Karina yang dikasih kemudahan pesimis mulu.
"Lo mah jangan pesimis mulu dong anjir gue juga takut tersugesti."
Karina tertawa mendengar lontaran kekhawatiran dari Jeno. "Nggak, iya-iya ini optimis nih gue. Ayo belajar lagi masih banyak yang belum lo kerjain itu."
"Otak gue panas, mendadak malfungsi."
"Sama sih anjir." Karina menghela napas lelah. Dia menutup buku latihan soal SBM-nya. Sebenarnya Karina belajar hanya untuk jaga-jaga apabila dia tidak diterima jalur undangan. Pendaftaran SNM pun sebenarnya belum di mulai. Kalau boleh jujur sebenarnya Karina bingung setengah mati menentukan pilihannya. Unair mungkin kedokteran terbaik, tapi risiko jauh dari rumah dan teman sepersukuan agaknya juga sedikit mengusik batin Karina. Maka dari itu dia bimbang setengah mati untuk kasus ini.
"Lo di Surabaya gue di Depok, amin ga Rin?" Tanya Jeno menatap polos Karina masih dengan posisi tidurnya.
Karina tersenyum miris, satu lagi mungkin, LDR dengan Jeno sedikit mengganggu pikiran Karina sampai detik ini. Tidak munafik Jeno memiliki arti dan dampak besar dalam hidupnya. Adanya Jeno membuat semua kepanikan Karina selama tingkat akhir ini sedikit bisa di kontrol dengan baik satu per satu. Sifatnya yang dewasa, pembawaannya yang tenang, cara berbicaranya yang membuat Karina patuh seakan menjadi acuan tersendiri bagi Karina dalam mencari langkah. Selain petuah dari kedua orang tuanya, bercerita dengan Jeno juga menjadi syarat tersendiri bagi Karina untuk menentukan langkah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jeno's
FanfictionBukan cerita tentang cowok berandalan yang jatuh ke cewek baik-baik, bukan cerita ketua OSIS yang yang berhasil menaklukkan manusia kurang ajar sesekolahan, bukan juga tentang teman masa kecil yang terjebak friendzone. Hanya tentang Jeno yang pada a...