Kriiing...
Sampai jumpa dengan semangat besok pagi! Hati-hati di jalan.
Suara bel berbunyi pertanda berakhirnya sekolah hari ini. Para siswa berpakaian seragam putih biru itu berhamburan keluar dari dalam kelas mereka.
Reno keluar dari dalam kelasnya, belok ke kiri dengan tujuan menjemput teman-teman sebayanya untuk melewati gerbang belakang.
Bibirnya menahan senyum ketika berpapasan dengan adik kelas yang ia sukai. Dia memilih untuk menundukkan kepala, agar tak ada yang tahu bila saat ini dia tengah gila.
Matanya berbinar, tiga temannya sudah tertangkap pandangannya. Dia sedikit berlari untuk menghampiri tiga cowok yang berbeda kelas dengannya itu. Adit, Rafi, dan Deo. Ingat, 'kan, teman SD Reno?
Tanpa basa-basi, tanpa siapapun mengeluarkan kata, mereka langsung melangkah untuk segera pergi dari area sekolah.
Reno berjalan di belakang ketiga temannya. Mengulum bibir, sebab mereka tak mengajak Reno berbicara.
Area parkir sepeda yang ramai dan harus mereka lewati, membuat Reno sedikit tertinggal.
Dan, cowok itu kembali berlari kecil menyusul ketertinggalannya.
Jalan kaki. Di masa putih biru ini untuk pergi ke sekolahnya Reno cukup berjalan kaki. Jarak rumahnya dekat, namun juga tidak terlalu. Hanya membutuhkan kurang dari lima menit saja, Reno sudah bisa pulang pergi ke sekolah tanpa bantuan sepeda.
Berangkat disambut matahari terbit, dan pulangnya, tepat menghadap arah matahari tenggelam.
Silau mata Reno. Pulang pergi berhadapan langsung dengan sinar matahari. Tak masalah, hanya saja, kulitnya terasa terbakar setiap hari harus berhadapan dengan panasnya sinar matahari. Apalagi kalau pulang, tepat jam setengah satu siang seperti hari ini, ketika matahari sedang terik-teriknya.
Di depan balai desa, Reno menangkap seseorang yang memang tak asing di pandangannya, namun dia juga tak kenal siapa dia. Seseorang dengan sepeda onthel yang membonceng gerobak. Mengelap lelah keringatnya, membuat denyut jantung Reno nyeri melihatnya. Beliau adalah tukang cilok, yang biasa Reno jumpai di daerah kecamatan.
"Rek, liat, kasihan, ya, bapaknya," Kata Reno memanggil teman-temannya, sembari kedua netranya menatap pria paruh baya yang sedari tadi membuat Reno sesak.
"Oh, iya, aku pengin beli, tapi uangku habis." Deo, cowok berambut ikal itu sepertinya juga punya rasa kasihan terhadap penjual cilok tersebut.
"Duitku tinggal seribu, masa cuman beli seribu doang?" Adit menghela napasnya.
"Aku ada sepuluh ribu, kita beli sepuluh ribu jadi empat gimana?" Usul Reno, bersemangat.
"Boleh, nggak papa, Ren?"
"Nggak papa... ayok!" Reno mengajak teman-temannya, menghampiri tukang cilok tersebut.
"Pak, ciloknya sepuluh ribu jadi empat, ya?"
Si bapak yang mulanya duduk lemas, langsung berdiri, "Cilok Aci ini, le? Alot, nggak papa?" Reno terdiam, tak diberi tahu pun sebenarnya Reno sudah tahu.
"Nggak papa, Pak. Saya udah tau, makanya saya beli." Jawab Reno.
"Yaudah, bapak bungkuskan, ya?" Reno tersenyum, manggut-manggut.
"Ini pak artanya," Reno memberikan uang sepuluh ribu miliknya pada bapak penjual itu.
"Maturnuwun, ya, le? Mau pake apa?" Tawar bapak.
KAMU SEDANG MEMBACA
SATURDAY||Reno: Lee Jeno
RandomTentang semua yang ada dalam diri seorang Ananda Reno: •Tentang kehidupan sehari-harinya. •Tentang bagaimana dia ketika sendiri. •Tentang apa yang sedang keluarganya alami. Bunda dan Ayah. •Tentang masa lalu yang sering menghantuinya. Cinta dan ling...