"Reno," panggilan tersebut membuat Reno beranjak dari kursi ruang tamu rumahnya. Sedikit membuang napas gusar, sebab dia sudah terlalu nyaman rebahan di kursi panjang ruang tamu yang biasa dia gunakan untuk teman gabut.
Berjalan dengan gontai untuk menemui si pemanggil namanya itu. Reno cemberut, waktu santainya direnggut oleh adik pertamanya, Hafiz.
Ayah, sebagai si pemanggil namanya tadi, menyuruh Reno untuk mengantarkan Hafiz membeli es krim di Utara jalan raya.
Reno dengan terpaksa menggandeng adiknya itu. Gontai, benar-benar waktunya terbuang untuk menuruti bocah tengil satu ini.
"Berangkat sendiri sana!" Reno membentak adiknya. Meskipun nadanya membentak dan terdengar sangat kesal, Reno tetap mengantarkan bocah itu.
Panas siang ini sangatlah terik, menyengat kulit tangannya yang terlihat sangat putih bila terkena sinarnya.
"Anterin!" Balas Hafiz membentak.
"Dah, lah, sana berangkat sendiri." Reno melepas genggamannya.
"Mas ...." Hafiz merengek.
"Ah, elah, jadi manusia nyusahin banget lo." Dumel Reno.
Sampai di pertigaan, yang memisahkan antara jalan menuju tempat si penjual es krim dan tempatnya saat ini berdiri, tangan Reno mengambil tangan mungil Hafiz untuk kembali dia gandeng.
Jalanan sangat ramai. Banyak kendaraan roda 2 hingga roda 4 berlalu lalang tanpa putus, menyebabkan Reno harus bersabar untuk menunggu jalanan sepi dan bisa menyebrang.
Kaki Reno maju 1 langkah, lalu kaki Hafiz yang ikut-ikutan menapaki aspal jalan raya. Reno kembali menarik kakinya tadi, pun Hafiz mengikutinya. Jalanan masih ramai, semakin ramai, kaki Reno tak berhenti melakukan hal seperti tadi berulang kali dan Hafiz pun tak berhenti mengikutinya.
Berselang beberapa menit menunggu jalanan sepi, tangan Hafiz masih setia ada di genggaman Reno, namun bocah 7 tahun itu lepas, dan berlari berusaha untuk menyebrang, namun sebuah motor berwarna merah menghantam anak itu hingga terpental sejauh 3 meter. Membuat Reno dengan cekatan berlari menghampiri anak itu.
"HAFIZ!" Reno shock langsung memeluk anak itu di tengah jalan raya yang pesat kendaraan. Tak menimbulkan rasa empati dari orang-orang yang berada di sana. Sekalipun sosok yang menabrak bocah malang itu. Hanya menyaksikan Reno yang menggendong Hafiz dengan tertatih-tatih karena berat tubuh Hafiz. Reno sadar sandal bocah itu tertinggal sepasang, namun hal itu sama sekali tak membuat Reno peduli, sebab saat ini, adiknya sangat membutuhkan pertolongan.
Dia berlari sekuat tenaga, membopong Hafiz yang sedari tadi menangis, merintih kesakitan. Orang yang berlalu lalang menggunakan sepeda hanya menyaksikan tanpa memberi tawaran tumpangan untuk Reno.
"Bunda ..." Hafiz merintih. Beberapa luka di bagian tubuhnya adalah alasan yang membuat Hafiz menangis. "Bunda ....hiks ..." Hafiz terus merintih merasakan sakit karena luka-luka yang ditimbulkan oleh kasarnya aspal jalan raya.
"Bentar, ya, bentar lagi sampai, sabar .... Bentar, sakit, ya? Bentar, ya, dek ...." Reno berkali-kali mencoba membenahi posisi Hafiz yang melorot. Dan berkali-kali Reno ikutan merintih, melihat luka-luka itu bercucuran darah yang baru Reno sadari.
Reno sampai di halaman luas rumahnya, langsung berteriak memanggil, "BUNDA! AYAH!" tak peduli tetangga terganggu karena teriakannya yang cukup nyaring itu. Toh, jarak rumahnya dengan tetangga sebelah juga lumayan jauh, dipisahkan oleh tempat ibadah.
"BUNDA! AYAH!" Reno terus berteriak. Tak peduli seseorang memanggilnya dari arah belakang. Sepertinya si penabrak tadi mengikutinya.
"Reno, kenapa teriak-"
KAMU SEDANG MEMBACA
SATURDAY||Reno: Lee Jeno
RandomTentang semua yang ada dalam diri seorang Ananda Reno: •Tentang kehidupan sehari-harinya. •Tentang bagaimana dia ketika sendiri. •Tentang apa yang sedang keluarganya alami. Bunda dan Ayah. •Tentang masa lalu yang sering menghantuinya. Cinta dan ling...