•Cita-cita•

23 7 0
                                    

Maaf, ada beberapa percakapan yang sangat awam bagi para pembaca, terutama saya selaku penulis, hanya menuliskan apa yang saya tahu dan saya dengarkan. Jika ada kesalahan mohon dikoreksi, ya!

☘️☘️☘️

Akhirnya, semua pelajar yang satu minggu ini dibuat pusing karena ujian kenaikan kelas kelar juga. Eh, tapi belum benar-benar lega, soalnya hanya hari terakhir bukan ujian terakhir. Masih ada 2 mata pelajaran yang belum mereka selesaikan.

Yah..., pusingnya tertahan sampai nanti siang.

Beberapa menit lagi bel masuk berbunyi. Pukul 7.24, artinya 6 menit lagi mereka kembali bertempur dengan 50 soal pilihan ganda dan 5 soal esay. Mampus nggak, tuh?

Teknologi Layanan Jaringan dan Pendidikan Kewarganegaraan. 2 mata pelajaran yang susahnya kebangetan. Bentar, deh, terus pelajaran apa yang gak punya gelar susah?

Haikal said, "Nggak ada, semua susah, nggak ada pelajaran yang spesial. Semua mapel adalah anak tiri."

Ya, begitulah. Haikal perwakilan pelajar di seluruh Indonesia yang sekolah sebab suruhan orang tua.

"Van ..., gue nggak belajar TLJ, nanti kasih contekan, ya, gak banyak kok cuman esaynya 5, PG nya 50. Hehe, nggak banyak, 'kan? Cuman 55 soal aja." Naja cengar-cengir tak berdosa bicara sama Rezvan yang tengah membaca buku.

Dia mendapat sahutan dari Sholeh, "niat, nggak, sih, lo nyonteknya? Cuman bilang 55, kenapa nggak sekalian semua aja?"

Naja memayunkan bibirnya, "enggak, ah, kasihan Rezvan, kewalahan nanti ..."

Rezvan diam-diam mendengarkan percakapan mereka, menatap tajam Naja. "Balik lu sono! Dari pada dari tadi cuman ghibah nyari dosa, mbok, ya, nyicil-nyicil buat dipelajari tuh buku, bukan malah cuman di bolak-balik tapi mulut nyeritain keburukan orang lain. Laki kok mulutnya lemes banget." Ucapan menohok Rezvan mampu membuat tawa Mirza meledak.

"Ini namanya bukan ghibah, tapi berbagi cerita dengan Sholeh. Bisa bedain, nggak, sih, ghibah sama sekedar cerita?"

Sholeh mengangguk menyetujui ucapan Naja. "Terserah lo, lah, sana. Bentar lagi pengawas datang."

"Eeuuhh, ya, ya, Van? Cuman 55 doang ...," Mohon Naja dengan kedua mata berbinar.

"Enak banget idup lo. Tiap hari jagain temen contekan, lo sendiri di rumah ngapain? Ngebucin? Tidur? Nggak belajar? Mending rabi ae sono, Ja!" Rezvan geregetan. Bukan masalah dia tidak ingin berbagi jawaban. Hanya saja modelan Naja ini perlu dikasih penegasan. Tiap hari Rezvan kasih contek dia 1 mapel full, belum lagi mapel lainnya yang soalnya tidak bisa Naja kerjakan. Padahal, kalau di grup pamit buat belajar. Tapi udah waktunya, selalu seperti ini.

"Gue belajar, kok. Cuman memastikan jawaban gue itu sama nggak sama punya lo."

"Hhh ...." Rezvan tertawa sinis. "Pantesan Agis ninggalin lo."

Naja langsung melotot dengan tatapan tak terima. "Please, ya, kenapa harus nyebut-nyebut nama itu? Ah, maksud gue ..., alah tau, dah, kesel gue ...." Naja beranjak dari duduknya. Panas, mengepul, mendidih di ujung kepalanya. Ah, tidak, sangat berlebihan. Naja bukan cowok gampang sakit hati, kok. Batin Naja itu kuat banget. Udah biasa di dzolimi, jadi enjoy, palingan juga misuh-misuh doang kalau marah, atau kayak barusan. Marahnya boongan.

"Woy, Nad, kasih jawaban lo nanti, ya? 55 soal doang, nggak usah banyak-banyak." Naja berkata pada Nadien yang duduk di seberangnya.

"Cangkemmu, Ja, doang ..." Sita yang menyahuti.

"Ah, diem lo. Nadien ..., ya?" Bujuk Naja pada Nadien.

"Iya, nanti kamu panggil aja aku. Semua, 'kan berarti?"

SATURDAY||Reno: Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang