Reno melepas seluruh seragamnya hingga tersisa kaus kutang dan celana pendek saja. Melempar ke sembarang arah pakaiannya lalu segera ia tubrukkan punggungnya di atas kasur.
Nyala kipas angin no.3 tak membuat Reno puas. Bahkan dia menambahi angin untuk tubuhnya dengan kipas tangan karakter milik adik laki-lakinya.
"Ya Allah, padahal jarak bumi dan matahari seratus lima puluh jutaan kilometer, tapi panasnya bikin tubuh mendidih, apalagi di Padang Mahsyar nanti, ya Allah... belum lagi di neraka. Astaghfirullah... saya harus segera bertaubat sepertinya. Tapi saya harus mulai dari mana?" Reno mengedarkan pandangannya ke sekitar kamar. Kini pikirannya berkeliaran kemana-mana. Segera dia beranjak lagi, bergegas sambil memasang kaus yang dia pakai tadi pagi lalu berlari menuruni setiap anak tangga untuk menjernihkan pikirannya kembali.
Dada Reno naik turun, kedua bola matanya tak berhenti bergerak. Saat ini, dia berada di halaman rumahnya yang sangat panas. Tak beralaskan apapun, Reno berada tepat di bawah teriknya sinar matahari. Namun hal itu tak dirasakan sama sekali oleh cowok itu. Padahal sebelumnya, dia mengeluhkan betapa panasnya siang hari ini.
"Reno? Ngapain di situ?" Seseorang bertanya, namun tak membuat Reno berkutik dari tempatnya.
"Ren," panggil seseorang itu sekali lagi, yang membuat Reno langsung menatap sang pemanggil tanpa beranjak dari tempat.
"Ya, bunda?" Jawab Reno pada akhirnya.
"Ngapain kamu panas-panas gini di situ?" Tanya Bunda, membuat Reno setengah sadar menengadah.
Reno meringis, "berjemur, Bun, biar sehat." Jawab Reno.
"Masuk, Ren!" Ucap Bunda Sadiya, nadanya seperti memerintah dengan penuh penekanan.
"Kenapa, Bun?"
"Udah masuk. Panas ini, nanti kamu tambah item diledekin kakak kamu," Reno mengangguk, dengan segera Reno melangkah untuk masuk kembali ke dalam rumahnya, menuruti perintah ibunya.
Reno tahu, bukan itu saja alasannya. Tapi Reno sebagai anak harus menuruti perintah ibunya, sebab Reno juga tidak memiliki uang bila yang jadi alasan bunda jadi kenyataan.
🍃 Saturday 🍃
"Heh! Ada gurunya anjir!" Lucky mengumpat ketika dia sampai di samping pintu kelas."Lho? Kok? Ganti laki?" Reno menambahi bingung.
Reno, Chan, Haikal, Lucky, mencoba untuk menyembunyikan makanan mereka. Sebab di jam pelajaran bahasa Inggris, ketika guru ijin untuk keluar sebentar, mereka berempat, pun ikut keluar dengan dalih ke koperasi untuk membeli pulpen.
"Ayo, masuk aja," Suruh Haikal.
"Jajannya gimana? Punya gue banyak, woy!" Chan panik.
"Taruh saku. Nggak akan dimarahi, orang bukan Bu Santi, kok." Usul Haikal.
"Tapi pak Yadi ini," Chan ngeyel.
"Ck! Percaya, deh, Pak Yadi asyik, ga bakalan dia marah, lagian, juga bukan jam dia,"
"Lo dulu sana yang masuk," suruh Reno pada Haikal.
"Nggak, ah, jajan gue banyak banget." Tolak Haikal. "Lo, Luck duluan sana!" Ganti Haikal menyuruh Lucky.
"Kok, gue?"
"Ck! Kelamaan." Reno yang tak sabar, memilih mengalah, lalu masuk duluan ke dalam kelas, disusul Lucky, Chan, dan Haikal paling belakang.
"Permisi, pak, assalamu'alaikum," Reno dengan sopan mengucap salam, begitupun dengan ketiga temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SATURDAY||Reno: Lee Jeno
De TodoTentang semua yang ada dalam diri seorang Ananda Reno: •Tentang kehidupan sehari-harinya. •Tentang bagaimana dia ketika sendiri. •Tentang apa yang sedang keluarganya alami. Bunda dan Ayah. •Tentang masa lalu yang sering menghantuinya. Cinta dan ling...