Bunda menaiki setiap anak tangga menuju kamar putra pertamanya. Beliau membuang napas sebelum sampai di tangga paling atas.
Melihat putranya yang tiduran dengan seluruh tubuh tertutup selimut, membuat bunda urung. Beliau hendak kembali, namun pergerakan Reno membuatnya urung untuk kembali.
"Reno ...," Panggil bunda, duduk di tepi kasur Reno.
"Hmm," deham Reno masih enggan untuk membuka selimutnya.
"Bunda minta maaf, ya? Bunda tadi cuman nanya, kok, nggak nyalahin kamu."
"Kamu marah, ya, sama bunda?" Tanya Bunda hati-hati.
"Nggak!"
"Bunda minta maaf, bunda nggak nyalahin kamu, kok, Hafiz emang yang salah, tadi bunda udah bilangin dia. Namanya anak kecil, masih nggak paham sama jalanan."
"Kamu kenapa? Jangan nangis ... bunda nggak marahin kamu, kok, kamu gak salah, nak ...." Tutur bunda lirih.
"Hmm ..." Lagi-lagi Reno membalasnya dengan dehaman singkat.
"Kenapa, cerita sama bunda, ya, gimana bisa tadi adik, kok, lari duluan?" Tanya bunda. Salah satu tujuan beliau mendekati putranya.
"Dibilangin tiba-tiba lepas dari genggaman aku, kok." Nada bicara Reno sedikit ketus, membuat bunda harus lebih bersabar lagi untuk bertanya pada anaknya itu.
"Kamu nggak cegah dia?"
"Gimana mau nyegah kalo dia udah lari duluan terus ketabtak?" Dalam selimut, dada Reno semakin sesak mengingat kejadian tadi.
"Terus kenapa kamu kok marah?"
Reno mendecak, mengubah posisi tidurnya. "Orang-orang kenapa nggak peduli pas Reno kesusahan gendong Hafiz? Orang-orang cuman ngeliatin, nggak ada niatan buat bantu, kek, buat sekedar tanya, kek, cuman liatin gak jelas nggak berguna. Itu bikin Reno marah. Orang-orang sekarang rasa kepeduliannya minim banget." Reno terdiam sejenak. Mengontrol emosinya agar tidak semakin memuncak.
"Sendal Hafiz ketinggalan tadi, nggak tau di mana. Nggak peduli."
"Iya, udah, nggak papa, yang penting kamu sama Hafiz nggak kenapa-kenapa."
"Hafiz tidur?" Tanya Reno kemudian. Emosinya tak separah tadi. Dadanya juga sudah mulai bergerak dengan normal.
"Iya, tadi bunda suruh dia buat istirahat." Kembali hening beberapa saat kemudian. "Bunda turun, ya. Kamu istirahat juga. Nanti kalo laper langsung ke bawah."
Reno membuang napas, "Ya."
•🍃 Saturday 🍃•
Sore hari, sekitar pukul setengah 6, masjid mulai menyuarakan tanda-tanda adzan akan berkumandang. Pemuda 17 tahun lebih itu beranjak dari tempatnya. Merentangkan tangannya sebentar, menyibak selimut dari tubuhnya, lalu menguap dan mengucek matanya yang hampir 4 jam lebih lamanya itu terpejam.
Ini adalah kali pertama Reno tidur panjang selain di jam tidur malamnya. Cowok itu akhirnya bangkit dari tempat.
2 waktu wajibnya telah ia lewatkan. Saat ini kesempatan untuk dia menebusnya.
Mengabaikan keramaian di perutnya —karena cacing-cacing di perutnya yang berdemo, Reno memilih untuk menyegarkan tubuhnya dan tak lupa untuk mengambil wudhu setelah pakaian baru melekat di tubuhnya, bersiap melaksanakan sholat Maghrib.
Beberapa anggota keluarga yang berpapasan dengan Reno cowok itu abaikan. Terlebih lagi ketika dia berpapasan dengan bunda yang hendak melaksanakan sholat Maghrib juga.
Reno benar-benar kicep di depan keluarganya semenjak kejadian siang tadi. Emosinya belum reda sepenuhnya, masih ada keganjalan yang memenuhi dada serta kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SATURDAY||Reno: Lee Jeno
RandomTentang semua yang ada dalam diri seorang Ananda Reno: •Tentang kehidupan sehari-harinya. •Tentang bagaimana dia ketika sendiri. •Tentang apa yang sedang keluarganya alami. Bunda dan Ayah. •Tentang masa lalu yang sering menghantuinya. Cinta dan ling...