Warning! Cerita ini hanyalah fiksi belaka. Dimohon kebijaksanaan pembaca agar tidak dikaitkan dengan dunia nyata. Dilarang keras untuk menduplikasi dan/atau menyebarkan sebagian atau seluruh isi cerita ini tanpa izin penulis.
.
.Punya nomor pribadi itu adalah hal yang pribadi. Maksudnya, kalau tidak terlalu akrab, orang enggan bertukar nomor ponsel. Jeno masih merasa ia sedang tidur dan bermimpi saat nomor Jaemin tersimpan di ponselnya. Ia menampar pipinya di depan cermin, "Sadar, Kim Jeno. Jangan norak!" Ia memeringati diri sendiri.
Gongmyung yang sedang makan sarapan di meja makan memandangi tingkah anaknya yang hari ini tampak aneh.
"Kamu kenapa?"
"Hah?" Jeno menoleh dari wastafel. "Oh, tidak apa-apa," kata Jeno mengakhiri pertanyaan ayahnya. Ia segera duduk di hadapan ayahnya dan menghabiskan sarapan yang sudah tersedia.
"Bagaimana sekolahmu?" tanya Gongmyung di tengah sarapan. "Apa teman-temanmu menyenangkan?"
Satu yang Gongmyung khawatirkan ketika Jeno bilang ia menerima beasiswa dari Yayasan Taeyang untuk bersekolah di SMA Seoul, yaitu pergaulan mereka. Bukan berarti sekolah anak-anak orang kaya itu punya budaya yang buruk. Gongmyung lebih khawatir jika anaknya akan mendapat diskriminasi atau malah membuat masa SMA nya terasa seperti neraka ketika memaksakan diri masuk ke sana.
Ia hanya ingin Jeno menjalani hidup yang bahagia.
Berulang kali Gongmyung membaca kalimat di surat yang Jeno berikan. Ia terharu, anaknya belajar sekeras itu untuk mendapat beasiswa ini. Ia pun tidak ingin jadi penghalang cita-cita untuk anaknya. Apalagi Jeno bukan tipe anak yang suka merengek. Permintaannya hanya ini, dan seluruh biayanya ditanggung dengan beasiswa.
"Kamu yakin mau masuk sini?" tanya Gongmyung pada Jeno waktu itu.
Anak 15 tahun itu mengangguk antusias sehingga Gongmyung menyanggupi untuk membubuhkan tanda tangannya di seluruh berkas yang dibutuhkan.
Sudah hampir setahun sejak saat itu. Jeno jarang membicarakan tentang teman-teman di sekolahnya. Hanya sesekali ia minta ijin untuk pergi dengan teman yang namanya tidak asing bagi Gongmyung. Jaemin dan Felix, dua nama yang paling sering Jeno sebutkan.
Jeno mengangguk. "Sekolah baik-baik saja. Minggu depan mulai ujian tengah semester, jadi sepertinya aku akan pulang lebih malam untun belajar di sekolah."
"Dengan Felix dan Jaemin?"
"Dengan Felix. Jaemin kadang tidak peduli dengan nilainya, jadi dia jarang ikut belajar bersama. Lagipula kalau dia ikut, lebih banyak aku yang mengajari daripada aku yang belajar."
Gongmyung menganggukkan kepala. "Kamu pernah dengar, tidak, kalau mengajar orang itu berarti kita belajar 3 kali?"
"Maksudnya?" Jeno menatap wajah Gongmyung.
"Iya, kamu belajar untuk diri kamu sendiri, itu sekali. Lalu kamu mengajari orang lain, itu dua kali. Lalu kamu mereview pekerjaanmu, itu tiga kali." Gongmyung bangkit berdiri, membereskan piring kosongnya. "Jangan pelit-pelit ilmu dengan orang, Nak. Tapi jangan jadi sok pintar juga."
Jeno paham maksud Ayahnya, dia disuruh mengajari Jaemin. Tapi gadis itu terlalu lama untuk paham satu materi. Dia lebih suka menggambar atau corat-coret tidak jelas di ipadnya daripada fokus pada apa yang Jeno ajarkan. Rasanya Jeno selalu naik darah saat mengajari Jaemin.
Jeno mendengus. "Nanti deh aku ajari anaknya kalau dia minta."
Ia pergi membawa piringnya ke sink dan mencuci seluruh perlengkapan makan mereka sementara Gongmyung bersiap untuk berangkat kerja pagi itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
With You
Romance[END] Ini cerita mereka yang terlilit benang takdir karena satu kesalahan Jaehyun. Jeno yang datang seperti petir di siang hari. Mark yang selalu jadi pahlawan bagi Jaemin. Siapa yang Jaemin pilih? . . . Book 1 of 3 Warning ⚠️ : GS, slowpace, mature...