5

1K 121 5
                                    

Warning! Cerita ini hanyalah fiksi belaka. Dimohon kebijaksanaan pembaca agar tidak dikaitkan dengan dunia nyata. Dilarang keras untuk menduplikasi dan/atau menyebarkan sebagian atau seluruh isi cerita ini tanpa izin penulis.

.
.

"Orang datang dan pergi, Jaemin."

Persis seperti yang dikatakan Jeno, orang di sekeliling Jaemin datang dan pergi. Seperti halnya bandara, orang transit sesaat, lalu pergi lagi dengan tujuan masing-masing. Jaemin kesal dengan hal itu. Di saat ia nyaman, ia dipaksa melepas orang-orang tersayangnya pergi.

Jadi Jaemin milih menjaga jarak dan membiarkan lingkup pertemanannya tetap kecil yang mana hanya ada Mark di sana. Mark yang sejak pertama kali memorinya bisa terbentuk ada di sebelahnya dan menemani gadis itu.

Hingga natal akhir tahun lalu, ia mendengar Paman Jaehyun berniat menguliahkan Mark ke Kanada selepas SMA. Bukan hal yang mengherankan, mengingat beberapa sanak saudara Mark memang menetap di sana, tapi semua terlalu mendadak untuk Jaemin.

"Kalau kakak pergi, aku bagaimana?" tanya Jaemin saat bermain di kamar Mark selepas makan malam.

"Masih ada tiga tahun lagi sampai aku kuliah, Jaemin. Masih ada waktu."

Jaemin menunduk dengan mulut manyun. Jari-jarinya memetik senar gitar asal-asalan hingga menciptakan nada-nada acak yang memekakkan telinga.

"Menyebalkan."

Tangan Mark terulur, mencubit pipi tembam Jaemin. "Cobalah berteman. Tidak semua orang akan pergi Jaemin. Kalaupun pergi, kalian masih bisa bertemu kapan-kapan."

"Kapan-kapan itu kapan?" sungut Jaemin. "Aku belum pernah bertemu Chani lagi sejak dia pindah ke Amerika. Shuhua juga begitu. Padahal Seoul-Beijing hanya butuh dua jam penerbangan."

Jaemin masih enggan menatap Mark. Ia menarik tangan yang lebih tua dan memainkan jari-jari Mark yang terasa kasar di tangannya. "Kakak akan pulang lagi, kan?"

"Tentu saja. Aku pasti pulang, Jaemin. Aku hanya kuliah di sana tiga tahun, lalu pulang ke Seoul."

"Janji?"

Jaemin mengulurkan kelingkingnya.

Mark menatapnya sebentar, sebelum mengaitkan kelingkingnya di kelingking Jaemin. "Janji."

Senyum di wajah Jaemin terbit. Senyum cerah yang selalu ingin Mark lihat ada di wajah Jaemin. Dalam hati ia akan melakukan segalanya asalkan Jaemin bahagia.

.
.
.

Jeno pikir Jaemin akan meninggalkan meja makan siang ini dan pergi makan bersama Mark. Siang ia malah menemukan gadis itu membawa tas besar berisi banyak sekali makanan.

"Karna aku sedang kesal, semalam aku masak terlalu banyak," katanya meski masih enggan menatap Jeno.

Felix dan Hyunjin di sebelahnya langsung melahap makanan yang disediakan Jaemin tanpa perlu merasa berpikir kenapa Jaemin kesal. Jeno tidak langsung memakannya, ia sibuk menatap wajah ayu Jaemin yang ketara sekali masih marah.

"Apa lihat-lihat?!" hardiknya malah membuat Jeno tertawa.

"Kalau setiap kamu marah kamu masak sebanyak ini, apa tiap hari saja aku buat marah?"

"Kim Jeno!" Jaemin mencubiti badan Jeno sampai laki-laki itu mengaduh minta ampun.

"Jaeminiiii!" seru Renjun yang baru keluar dari ruang seni rupa. Ia langsung memeluk Jaemin dari samping. Wajah Jaemin masih ketara sebal.

"Aku masih marah ya padamu!"

Renjun malah cengar-cengir. "Jangan marah, dong. Aku kan perginya masih bulan Agustus."

With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang