18

849 112 17
                                    

Warning! Cerita ini hanyalah fiksi belaka. Dimohon kebijaksanaan pembaca agar tidak dikaitkan dengan dunia nyata. Dilarang keras untuk menduplikasi dan/atau menyebarkan sebagian atau seluruh isi cerita ini tanpa izin penulis.

.

.

"Jaemin sungguhan tidak akan main lagi dengan kita, ya?" tanya Karina di tengah makan siang.

"Nampaknya seperti itu," timpal Felix.

"Jadi, kita tidak akan mendapat makan siang gratis lagi, dong," desah Hyunjin. "Aku merindukan masakan Jaemin."

Keempatnya berkumpul di meja biasa. Rasanya nyaris seperti biasa setelah sebulan Jaemin tidak lagi makan bersama mereka. Mereka selalu mendapati Jaemin duduk di antara anak-anak kelas tiga. Karina dan Jeno masih bertemu karena sekelas. Sedangkan Felix dan Hyunjin tidak sama sekali.

Keduanya juga sulit menemui Jaemin di ruang belajar karena selalu ada Mark di sebelahnya. Senior yang satu itu jadi terasa sangat-sangat menyebalkan. Ia selalu melempar pandang seolah mereka adalah hama yang patut dibasmi.

"Kamu kan satu level dengannya, sudah coba untuk menghubungi Jaemin?" tanya Felix pada Karina.

Gadis itu mendesah. "Bodyguard-nya sombong." Tentu saja yang ia maksud Senior Mark.

Lengkap sudah, mereka tidak bisa menghubungi Jaemin sama sekali. Telefon tidak terhubung, chat juga tidak terhubung. Ini menyebalkan sekali.

Tolong jangan tanya Jeno, karena dia sumber segala masalah ini. Laki-laki itu jadi orang pertama yang seluruh aksesnya menghubungi Jaemin ditutup.

Yang tidak mereka tahu, karena Jaemin dan Jeno punya beberapa kelas yang sama, ia dan Jaemin jadi sering bertemu. Keduanya sekarang tahu tempat terbaik untuk bertemu tanpa ketahuan oleh siapapun.

Tangga darurat menuju aula lantai 4.

Tangga itu nyaris tidak pernah dilewati siapapun sampai-sampai muncul mitos tentang hantu. Jeno menyadari pintu tangga darurat yang tidak terkunci saat mereka harus membereskan perlengkapan panahan sehabis club.

"Aku kembali duluan, ya," kata Jeno setelah menghabiskan makannya. Ia segera menaruh nampannya di tempat cuci lalu melesat ke tangga darurat, tempatnya dan Jaemin janjian untuk bertemu.

Gadis itu sudah di sana dengan kardigan hijau yang melindunginya dari angin. Ia sibuk memperhatikan lapangan di bawah sana hingga tidak sadar Jeno sudah datang.

"Dor!"

"Ih Jeno! Kaget, tahu!" rengeknya sambil memukuli Jeno main-main. Lelaki itu malah tertawa.

Keduanya duduk di salah satu anak tangga sambil menghabiskan jeruk yang Jaemin bawa.

"Kemarin Mama cerita padaku kalau seharusnya aku punya adik laki-laki," kata Jaemin membuka topik hari itu. "Mama kecelakaan saat naik kendaraan umum. Bayinya tidak selamat. Rahim Mama juga harus diangkat. Makanya sejak saat itu Papa agak trauma dengan kendaraan umum."

"Memangnya anak laki-laki sepenting itu ya bagi para pria?" tanya Jaemin sambil mengupas jeruknya yang kedua.

"Itu masalah patriarki. Kita terbiasa melihat raja mewarisi tahta ke anak laki-laki, jadi budaya kita lebih mengedepankan keturunan laki-laki. Selain itu, anak laki-laki juga dianggap sebagai pembawa nama keluarga," jelas Jeno.

"Kalau menurut kamu sendiri? Anak laki-laki penting?" Jaemin menatap Jeno sambil menyuapkan sepotong jeruk ke mulutnya.

"Hmm..." Jeno berpikir. "Sejujurnya aku bahkan tidak terpikir untuk memiliki anak."

With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang