20

929 106 10
                                    

Warning! Cerita ini hanyalah fiksi belaka. Dimohon kebijaksanaan pembaca agar tidak dikaitkan dengan dunia nyata. Dilarang keras untuk menduplikasi dan/atau menyebarkan sebagian atau seluruh isi cerita ini tanpa izin penulis.

.

.

"Heh, bangun," panggil Felix pagi itu. "Kita ada kelas matematika hari ini."

Jeno berguling, menghindari Felix. "Biarkan saja."

Felix berdecak. "Memangnya kau seperti ini bisa membuat Jaemin kembali?"

Jeno bahkan tidak tidur semalaman. Meski lelah, rasanya kantuk belum juga datang. Ia membuka mata, memandang kosong pada dinding di depannya tanpa semangat untuk hidup. Ia lagi-lagi menghela napas.

Hanya karena satu kejadian semalam, dunia Jeno jungkir balik.

"Kutunggu lima menit di meja makan. Kalau tidak aku habiskan sarapanmu," ancam Felix yang sebenarnya lebih terdengar seperti lelucon seandainya suasana hati Jeno tidak seburuk ini.

Laki-laki 17 tahun itu akhirnya bangkit dari tempat tidur untuk mandi dan kemudian bergabung dengan Ayah dan Felix di meja makan.

Ayahnya tahu ada yang tidak beres dengan putranya sejak dua hari lalu. Jeno mengurung diri seharian dalam kamar. Ia tidak mau makan, tidak mau melakukan apapun, hanya berbaring seperti orang mati.

Gongmyun ingin bertanya, tapi takut pada akhirnya kalimat yang ia keluarkan tidak tepat. Jadi ia menunggu anak itu buka suara sendiri.

Senin pertama setelah pertunangan Jaemin dan Mark topik itu jadi buah bibir di mana-mana, bahkan mengalahkan tentang betapa megahnya ulang tahun Mark sendiri. Mereka senang karena pasangan impian mereka jadi kenyataan tanpa tahu ada yang terluka dengan itu.

"Jeno..." panggil Karina menggoyangkan tubuh lelaki itu yang sejak tadi menelungkup di atas meja. Ia sama sekali tidak mendengarkan ucapan Guru Song. "Kelasnya sudah berakhir."

Jeno bangun. Ia melirik meja sebelahnya yang biasa ada Jaemin di sana. Kali ini kosong. Gadis itu tidak tampak di manapun hari ini.

"Hei," panggil Karina sebelum Jeno berlalu untuk pergi ke kelas lain. "Masih ada aku, Felix, dan Hyunjin di sini. Jangan disimpan sendiri, ya?"

Jeno hanya memberi anggukan datar lalu menghilang ke kelasnya yang lain dengan nyawa yang setengah hilang.

Di waktu makan siang ia lalui sendiri di tangga darurat, tempatnya bertemu dengan Jaemin. Sedikit banyak ia berharap gadis itu akan muncul dan mengatakan sesuatu padanya.

Tapi harapan jadi sekedar harapan ketika tidak ada siapapun yang muncul di sana.

Jeno terdiam di anak tangga, memandang pada jendela kaca di luar sana. Hujan turun dengan lebatnya, membawa hawa pengap yang semakin membuat napas terasa sulit.

Ia ingat pembicaraan terakhirnya dengan Jaemin, seandainya mereka berpisah, mereka harus apa?

Ia mendengus tertawa, ternyata ia naif sekali saat itu.

"Hadapi saja."

Kalimat itu berubah menjadi bumerang baginya. Karena padanya kenyataannya, menghadapi perpisahan tidak pernah terasa nyaman.

.
.
.

Gongmyung diam mengamati anaknya yang sejak tadi tidak benar-benar menghabiskan makanannya. Jeno hanya memutar-mutar nasi di mangkuk yang telah basah oleh kuah doenjang jjigae. Jeno jelas tidak baik-baik saja meski ia tidak berucap apa-apa padanya.

Lelaki 57 tahun itu berdehem sebentar, menarik kesadaran Jeno ke permukaan. "Kamu mau cerita sesuatu pada Ayah?"

Jeno menghela napas. Ia tetap diam, lalu menyuap sesendok nasi ke mulut.

With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang