33

917 103 14
                                    

Warning! Cerita ini hanyalah fiksi belaka. Dimohon kebijaksanaan pembaca agar tidak dikaitkan dengan dunia nyata. Dilarang keras untuk menduplikasi dan/atau menyebarkan sebagian atau seluruh isi cerita ini tanpa izin penulis.

.

.

Mark tidak buta.

Ia tahu kalau Jaemin kembali bertemu Jeno di belakangnya. Keduanya sering menghabiskan waktu di apartemen Jeno. Biasanya Jaemin akan pergi di hari minggu pagi, dan pulang ketika sore hari. Gadis itu tidak menutupi darinya atau berbohong sedemikian rupa untuk tetap terlihat baik di matanya, seolah Jaemin sengaja menunjukkan padanya agar pertunangan ini berakhir.

Mark diam dalam mobilnya ketika melihat Jaemin turun dari mobil pribadinya di komplek apartemen Jeno.

Kesal, ia benar-benar kesal. Rasa bencinya pada Jeno semakin menjadi setiap kali ia melihat wajahnya.

Tak lama ia melihat Jeno dan Jaemin keluar dari apartemen, masuk ke sebuah mobil Hyundai di parkiran. Jaemin tampak sangat bahagia di sebelah Jeno dengan senyum cerah yang tak pudar.

Mark mendengus iri. Kapan terakhir kali Jaemin tersenyum sebegitu cerah padanya? Sepertinya sepuluh tahun terakhir gadis itu lebih banyak buang muka atau memberi tatapan dingin dan menghindar.

Begitu mobil silver itu menghilang dari pandangan Mark, Mark menyalakan mesin mobil lalu pergi ke sebuah restoran di Apgujeong-gu.

Ia datang sendiri ke bilik VIP restoran itu. Paman Yuta, Bibi Winwin, Mama, dan Papa seketika menghentikan pembicaraan mereka ketika melihat Mark sudah datang.

"Kamu tidak datang dengan Jaemin?" tanya Taeyong.

Mark tersenyum tipis. "Jaemin sudah punya janji dengan orang lain."

Dahi Yuta berkerut. "Anak itu..." Ia mengeluarkan ponselnya, hendak menghubungi Jaemin.

"Jaemin bertemu Renjun, Paman. Mereka sudah lama tidak bertemu, dan Renjun harus kembali ke Jerman nanti malam. Tolong biarkan saja Jaemin main dengan temannya," bohong Mark begitu lancar.

Yuta memandanginya, menelisik ekspresi datar Mark. Kemudian ia menuruti kata-kata Mark. "Ya sudah, asalkan dia bilang padamu."

Mark menunduk. Dalam hati ingin menertawakan dirinya sendiri. Bagaimana ia masih melindungi Jaemin, sedang perempuan itu sedang bersenang-senang dengan pria lain.

Bodoh, ya?

"Mark, tahun depan kamu sudah 30 tahun, kan?" Tanya Winwin.

"Iya, Bibi."

Winwin memandangi wajah Mark. Anak itu sudah tampak jauh lebih dewasa. Pipinya yang dulu tembam sudah berganti dengan tonjolan tulang yang membingkai wajahnya begitu tegas. Pembawaan dirinya juga lebih tenang dan berwibawah.

"Kalau kita percepat pernikahan kalian, bagaimana?" tanya Winwin lagi.

Mark tersentak. Matanya melebar memandangi wajah ayu Winwin. "Kapan?"

"Musim panas tahun depan," jawab Taeyong. "Kamu dan Jaemin harus segera menikah. Kalian sudah terlalu lama bertunangan dan Mama sudah mulai khawatir dengan itu."

"Ma, kurasa aku dan Jaemin belum siap untuk menikah. Lagipula 30 tahun belum terlalu tua--"

"Lalu kapan kamu siap?" tanya Paman Yuta seketika membuat nyali Mark ciut. "Kalau kamu bicara soal siap dan tidak, tidak akan ada yang benar-benar siap untuk menikah."

Mark diam.

Yuta menghela napas. "Jaemin sering sekali pulang malam. Paman paham kamu dan Jaemin butuh waktu berdua, tapi bagaimanapun juga Jaemin adalah anak perempuan Paman. Kalian sudah sama-sama dewasa. Paman khawatir kalian akan melewati batas."

With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang