Warning! Cerita ini hanyalah fiksi belaka. Dimohon kebijaksanaan pembaca agar tidak dikaitkan dengan dunia nyata. Dilarang keras untuk menduplikasi dan/atau menyebarkan sebagian atau seluruh isi cerita ini tanpa izin penulis.
.
."Jaemin," panggil Mark pada gadis berambut sepunggung yang sejak tadi mengabaikannya dan fokus hanya pada makanan. "Aku akan wajib militer bulan depan."
"Oh... oke. Semoga berhasil," jawab Jaemin singkat.
"Aku akan pulang selama 18 bulan. Kamu tidak masalah sendirian?" tanya Mark lagi.
Jaemin meraih gelas wine yang tersedia lalu menyesapnya hingga tandas. "Kenapa harus jadi masalah? Aku sudah dewasa dan bisa mengurus diriku sendiri."
Mark menghela napas memandangi Jaemin yang begitu tak acuh padanya.
Sejak bertunangan, hubungannya dan Jaemin mendadak berubah. Mereka memang terikat, tapi Jaemin lebih banyak menghindar. Gadis itu tidak lagi tersenyum padanya. Semua ucapannya jadi dingin dan tidak berperasaan.
Mark tahu, dia salah. Tapi haruskah Jaemin terus-terusan mengibarkan bendera perang pada dirinya?
Sudah lewat 4 tahun sejak pertunangan mereka, tapi Jaemin tidak kunjung luluh dan memaafkannya setelah segala usaha yang Mark lakukan.
Bukannya harusnya Mark yang marah? Ia yang selama ini berkorban untuk Jaemin. Dia yang sejak awal jadi benteng perlindungan Jaemin. Apa semua tindakannya pantas dibalas seperti ini?
Jaemin yang berusia 21 tahun di hadapannya tampak begitu berbeda baginya.
Mark menunduk pada daging steak kemerahan yang belum habis ia makan. Ia teringat pada suatu waktu ketika ia dan Jaemin datang ke salah satu pesta dan gadis kesulitan memotong dagingnya. Umur mereka baru 9 dan 10 tahun saat itu.
"Sini, kamu makan punyaku saja," kata Mark sambil menukar piringnya dengan piring Jaemin. Daging di piringnya sudah terpotong kecil-kecil, siap dimakan dengan garpu.
Mata Jaemin berbinar senang. "Terima kasih, Kak!"
Ucapan sesederhana terima kasih itu selalu membuat hati Mark senang. Itu membuatnya merasa dihargai dan bisa diandalkan.
Jaemin melempar pandang keluar jendela restoran yang terletak di salah satu lantai gedung Hotel Mandarin Oriental. Pemandangan Central Park selalu tampak asri dan menenangkan. Tanaman hijau perlahan menjadi oranye seiring dengan musim yang berganti menjadi musim gugur.
Ia dibawa paksa oleh Mark dari Seattle ke New York hanya karena pria itu ingin makan steak. Jaemin menurut karena ia tidak ingin bertengkar lagi. Sudah cukup. Ia sudah lelah menghadapi sifat keras kepala Mark dan Papa.
Yang mereka inginkan hanya Jaemin yang tampak menurut, kan? Maka akan Jaemin lakukan meski itu menyebalkan.
"Aku lelah," kata Jaemin setelah Mark menyelesaikan tagihan makan malam mereka.
Mark mengangguk. "Ayo."
Tangannya berusaha meraih tangan Jaemin, namun gadis itu dengan cepat menepisnya. Ia berjalan beberapa langkah di depan Mark dan segera masuk ke dalam kubikel lift. Lagi-lagi Jaemin mendahului Mark menuju kamarnya.
"Jaemin," panggil Mark sambil mencekal Jaemin sebelum gadis itu masuk ke kamarnya. Mark mencium pipinya. "Selamat malam."
Jaemin hanya mengangguk, lalu melepas tangan Mark. Ia memandang Mark sesaat, lalu menjawab, "Ya, malam." Ia menghilang di balik pintu kamarnya.
.
.
.Mark mengenal Jaemin hampir seumur hidupnya. Ia kenal gadis itu bahkan ketika gadis itu belum fasih melafalkan huruf r.

KAMU SEDANG MEMBACA
With You
Romantizm[END] Ini cerita mereka yang terlilit benang takdir karena satu kesalahan Jaehyun. Jeno yang datang seperti petir di siang hari. Mark yang selalu jadi pahlawan bagi Jaemin. Siapa yang Jaemin pilih? . . . Book 1 of 3 Warning ⚠️ : GS, slowpace, mature...