1

2K 174 4
                                    

Warning! Cerita ini hanyalah fiksi. Mohon kebijaksanaan pembaca agar tidak dikaitkan dengan dunia nyata. Dilarang keras untuk menduplikasi dan/atau menyebarkan sebagian atau seluruh isi cerita ini tanpa izin penulis.

.
.

Pertemanan keduanya dimulai di bulan Maret 2016, saat tahun ajaran baru dimulai. Jeno terlalu linglung dengan lingkungan baru sekolahnya. SMA nya puluhan kali lebih luas daripada SMP-nya dulu dengan segudang fasilitas penunjang minat siswanya. Tidak heran kalau SMA Seoul menjadi salah satu sekolah bergengsi yang dikejar banyak siswa di negeri itu.

Jeno jadi salah satu yang beruntung untuk bisa masuk sekolah itu melalui beasiswa. Kalau bukan karena beasiswa, ia tidak mungkin ada di sana dalam balutan seragam yang terjahit rapi sesuai ukuran badannya. Meskipun ia bermimpi sekolah di sana, ia tidak bisa sampai hati untuk bilang ke Ayah kalau dia mau sekolah di SMA Seoul. Sekolah ini terlalu mahal.

Baru dua hari sekolah di sana, Jeno sudah dengar desas-desus hampir setengah latar belakang murid-murid di angkatannya. Si anak walikota, si pewaris group Changwon, anak menteri pertahanan nasional, dan banyak lagi! Lalu-lalang mobil mewah di lobby sekolah pun seolah sudah biasa.

Sesaat Jeno merasa minder berdiri di atas sepatu conversenya yang tampak sangat sederhana di antara sepatu-sepatu bermerek lainnya. Ia tampak seperti itik yang tersesat di antara angsa.

"Halo!" Itu sapaan pertama yang Jeno terima di hari ketiganya sekolah. Hampir sebagian besar anak-anak di kelas itu sudah saling kenal sehingga membentuk kubu masing-masing

Gadis itu berdiri di samping mejanya dalam balutan kardigan warna krem, menutupi seragam kemeja musim seminya. Tampak sederhana dengan rambut lurus sebahu.

"Namaku Na Jaemin," katanya tanpa menurunkan uluran tangan.

Jeno menyambut uluran tangannya. "Kim Jeno."

"Aku melihatmu saat pidato penerimaan siswa baru. Kau penerima beasiswa itu, ya?" tanyanya yang mana terdengar menjengkelkan di telinga Jeno.

Maksud perempuan ini apa?

"Iya," jawab Jeno sekenanya.

"Wah... hebat sekali." Jaemin tahu-tahu meletakkan buku cetak dan ipad-nya di meja sebelah Jeno. "Semoga kita bisa berteman baik, ya."

"Hm."

"Omong-omong kamu ambil kelas apa aja?" tanya Jaemin terlihat enggan menghentikan obrolan meskin Jeno ketara sekali tidak ingin bicara.

"Aku ambil kelas bahasa Inggris advance, bahasa Mandarin basic, matematika basic, economy 1, sociology 1, dan history of music," kata Jaemin. "Habis ini aku kelas world history di lantai tiga. Kamu kelas apa?"

Jeno terpaksa membuka bindernya, melihat catatan jadwal kelasnya yang sudah ia tulis rapi. Tahu-tahu Jaemin sudah mendekatkan kepalanya, untuk melihat tulisan di binder biru tua itu.

"Wah! Habis ini kelas kita sama-sama di lantai tiga! Ayo ke sana bareng!" seru Jaemin semangat sendiri. "Eh, jadwal kelas kita mirip tahu!"

Jeno mengerutkan dahinya bingung. "Oh, iya." Lagi-lagi ia menjawab sekenanya.

"Untunglah, kukira aku akan sendirian di satu tahun ini," kata Jaemin sambil menyamankan punggunnya ke sandaran kursi.

.
.
.

Selama seminggu sekolah, Jeno selalu menghabiskan waktu istirahatnya di kantin dengan Felix, salah satu penerima beasiswa sepertinya.

Ada dua jenis kantin di sekolah itu, kantin umum dan kantin berbayar. Tentu saja Jeno pergi ke kantin umum di mana sekolah menyediakan makanan gratis untuk seluruh murid. Tapi sepertinya pola pikirnya agak berbeda daripada sebagian besar murid di sana. Murid di sana lebih senang dengan kantin berbayar yang menyajikan pilihan makanan lebih beragam dan katanya lebih enak--entahlah, Jeno belum pernah mencobanya.

With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang