10

886 118 7
                                    

Warning! Cerita ini hanyalah fiksi belaka. Dimohon kebijaksanaan pembaca agar tidak dikaitkan dengan dunia nyata. Dilarang keras untuk menduplikasi dan/atau menyebarkan sebagian atau seluruh isi cerita ini tanpa izin penulis.

.
.

"Uh? Kamu mau ikut Papa?" Jaehyun menyesap kopi hitamnya tanpa melepas pandang dari putranya yang duduk di kursi sebelahnya. "Tidak ada janji dengan Jaemin?"

Padahal maksud Mark bilang mau ikut pergi main golf dengan Papa karena Jaemin. Tapi Papanya sama sekali tidak peka untuk membaca air wajahnya yang masam sejak bangun tadi.

"Jaemin pergi dengan teman-temannya," kata Mark singkat. Tangannya mengambil roti tawar dan selai raspberry yang tersedia di meja.

"Tumben. Kamu tidak diajak?" Mama tahu-tahu ikut bergabung dalam pembicaraan yang semakin membuat hati Mark risau.

Mark menggeleng. "Beda circle. Aku gak dekat dengan teman-teman Jaemin."

Jaehyun hanya menganggukkan kepala tanpa bertanya lebih jauh. Ia malah beralih pada ipadnya, membaca update berita hari itu.

Rencana awalnya, Mark sudah menyiapkan kejutan untuk Jaemin. Ia sengaja memanggil chef ternama dari salah satu hotel di Seoul untuk memasak di private dining. Semuanya gagal saat Jaemin lebih memilih untuk pergi ke Caribbean Bay dan dengan antusias bilang kalau dia mau main sampai malam.

Jaemin tidak pernah begitu sebelumnya.

Selama ini hidup Jaemin selalu berputar-putar di sekeliling Mark. Selalu ada Mark yang tampil sebagai super hero di hadapan Jaemin. Tanpa Mark, Jaemin tidak bisa melakukan apapun. Mark pun senang ketika gadis itu bergantung padanya.

Entah bagaimana, rasanya belakangan ini gadis itu terasa menjauh darinya. Gadis itu tumbuh dengan teman-teman di sekelilingnya. Tidak lagi merengek padanya ditelfon. Tidak lagi hanya memiliki Mark di sebelahnya.

Mark menghela napas. Ia merindukan Jaemin-nya.

"Nanti makan siang di rumah, ya," pesan Mama saat Mark memasukkan perlengkapan golf ke bagasi Range Rover Papa.

"Ew..." Mark mendelik geli melihat Papa dan Mama berciuman di depan pintu. Padahal ia sudah sering melihat kedua orang dewasa itu saling berbagi ciuman, tapi tetap saja rasanya menjijikan dan semakin geli ketika ia beranjak dewasa.

Dia seolah lupa kalau dirinya sendiri suka mencium Jaemin.

Mark masuk ke kursi di samping kemudi baru kemudian Jaehyun mengikutinya. Laki-laki 17 tahun masih memandangi wajah Papanya dengan tampang kesal.

"Apa?" tanya Papa basa-basi. Pria itu tahu jelas kenapa anaknya marah. "Dia kan istri Papa. Wajar Papa mencium Mama."

Mark memutar mata, tidak ingin memperpanjang masalah. Tangannya meraih ponsel, membuka aplikasi instagram yang sengaja ia log out sejak hari ulang tahunnya (ia belajar dari kejadian tahun lalu saat notifikasi handphonenya jebol).

Jaehyun menyetir mobil sambil sesekali bernyanyi mengikuti lagu yang terputar di player. Matanya sesekali melirik Mark yang masih manyun.

"Ada apa?"

"Tidak ada apa-apa."

Jaehyun malah mendengus menahan tawa. "Papa udah melihat kamu dari kamu masih di kandungan. Wajah jelas-jelas ditekuk begitu masih bisa bohong bilang tidak ada apa-apa."

Mark tidak menjawab.

"Kalau hanya karena Mama, pasti bukan," tebak Jaehyun.

Mark melesakkan ponselnya ke saku celana. Ia melempar pandang ke luar jendela, sama sekali tidak ingin bicara tentang hal ini.

With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang