11

868 109 2
                                    

Warning! Cerita ini hanyalah fiksi belaka. Dimohon kebijaksanaan pembaca agar tidak dikaitkan dengan dunia nyata. Dilarang keras untuk menduplikasi dan/atau menyebarkan sebagian atau seluruh isi cerita ini tanpa izin penulis.

.
.

February 14, 2017

Waktu dengan cepat berlalu. Tahu-tahu musim dingin sudah datang. Tahun baru sudah lewat beberapa minggu yang lalu. Ujian akhir semester juga sudah selesai minggu lalu. Kelas 1 nya di SMA Seoul dilalui Jeno dengan lancar.

Jeno memandangi papan buletin di lobby. Namanya ada di urutan ke 8 sebagai siswa peraih nilai rata-rata tertinggi di angkatan. Nama Felix ada di nomor 3, Karina di urutan 15, Jaemin di urutan 47, dan Hyunjin di urutan 89 dari 300 orang siswa kelas 1. Ia mengambil foto papan itu untuk dikirimkan ke grup chat.

Hari ini tidak banyak yang datang ke sekolah. Beberapa orang, salah satunya Jeno, datang untuk mengambil barang-barangnya di loker. Jeno tidak mau ambil resiko jika pihak sekolah memutuskan untuk mengosongkan loker tanpa sepengetahuannya. Ya memang sih, tidak ada yang berharga di dalam lokernya. Hanya ada beberapa buku seperti kamus dan jaket.

Merasakan ada seseorang di sebelahnya, Jeno menoleh dan mendapati ada Mark beberapa langkah jauhnya. Lelaki itu datang ke sekolah dengan padding putih. Di pundaknya ada ransel biru gelap.

"Oh, kau..." Mark baru menyadari keberadaan Jeno.

Matanya tidak sengaja menangkap nama Jeno di papan. "Selamat, ya," ucap Mark sedingin udara hari itu.

Jeno membungkukkan badan, membalas salam Mark saat seniornya itu berbalik meninggalkan sekolah. Jeno jadi penasaran dengan ranking Mark.

Kelas 2

1. Mark Jung

Seketika Jeno mendengus. Dia tidak percaya orang seperti Mark yang nampaknya lebih suka mingle dalam berbagai kelompok ternyata melakukan dengan cukup baik dalam sekolahnya.

Jeno menarik napas, lalu menghembuskannya.

Ia iri dengan orang-orang seperti Mark. Dia lahir dalam keluarga yang baik secara latar belakang dan status sosial, punya lingkup koneksi yang luas, tapi tidak meninggalkan akademisnya. Lagi-lagi Mark muncul sebagai sosok yang mematahkan stereotype di kepala Jeno tentang anak-anak orang kaya ini.

Hah... iri saja tidak akan membawamu kemana-mana, Kim Je No, batinnya. Lakukan sesuatu yang bisa kau lakukan.

Lelaki yang tahun ini menginjak usia 17 tahun itu melangkah menjauhi papan menuju ruang guru. Ia ada janji dengan Pelatih Park untuk mengambil sertifikat hasil keikutsertaannya dalam lomba. Ruang guru juga sama sepinya dengan bagian sekolah yang lain. Di ruangan itu hanya ada Minji, yang ia kenal di klub panahan, yang juga mengambil sertifikatnya.

Jeno tidak terlalu kenal dengan anak itu selain mereka beberapa kali terlibat percakapan karena lomba panahan. Selebihnya nol besar.

Ia sudah akan meninggalkan sekolah, kalau saja ujung jaket paddingnya tidak ditahan.

"Ada apa, Minji?" tanya Jeno ketika berbalik dan menemukan gadis berponi rata itu.

Pipi gadis itu memerah. Matanya menggeliat ke sana-ke mari menghindari Jeno. Ia mengigit bibirnya, belum juga bersuara. Jeno masih berdiri di tempatnya, menunggu gadis itu bicara.

"Ini untukmu," kata Minji sambil menyerahkan sebuah paperbag merah muda ke hadapan Jeno. "Happy Valentine."

Ini pertama kalinya untuk Jeno. Lelaki itu menguasap belakang lehernya canggung.

With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang