6

912 111 4
                                    

Warning! Cerita ini hanyalah fiksi belaka. Dimohon kebijaksanaan pembaca agar tidak dikaitkan dengan dunia nyata. Dilarang keras untuk menduplikasi dan/atau menyebarkan sebagian atau seluruh isi cerita ini tanpa izin penulis.

.
.

Jaehyun mencintai Taeyong. Itu adalah sebuah fakta yang semua orang iyakan.

Mereka sudah saling mengenal sejak kecil, sehingga pertunanganpun seperti sebuah jalan mulus untuk keduanya. Jaehyun mulai menyadari perasaannya pada wanita itu ketika ia duduk di kursi kelas 2 SMA. Saat itu Taeyong yang dua tahun lebih tua darinya sudah duduk di tingkat 1 perkuliahan.

Sore itu ia melihat Taeyong bermain dengan anak-anak penghuni panti asuhan milik Yayasan Taeyang yang masih kecil-kecil dan tampak begitu sabar menghadapi kenakalan mereka. Aura Taeyong di antara anak-anak itu tampak bersinar layaknya ibu peri.

Entah bagaimana bayangan itu muncul di kepalanya bahwa Taeyong yang akan menjadi ibu bagi anak-anaknya. Dan Jaehyun tidak bisa menghapus bayangan itu dari benaknya.

Jadi Jaehyun mengiyakan ketika orang tuanya menawarkan pertunangan ini. Pesta itu digelar beberapa bulan lalu di musim semi ketika Jaehyun kelas tiga SMA.

Ia pikir setelah terikat pertunangan, jalan yang Jaehyun lalui akan menjadi lebih mudah. Nyatanya tidak, di saat ia mencintai Taeyong dengan kesungguhan hatinya, satu-satunya alasan Taeyong menerima pertunangan itu adalah orang tuanya. Taeyong anak perempuan satu-satunya dan paling bungsu di keluarga. Seluruh perusahaan dapat dipastikan jatuh ke tangan kedua kakaknya. Yang tersisa bagi Taeyong hanyalah menjadi alat transaksi bisnis.

Taeyong berusaha bersikap sopan di hadapan Jaehyun dan keluarganya. Ia bersikap lembut dan patuh layaknya boneka yang entah bagaimana terasa memuakkan di mata Jaehyun.

"Kamu tidak suka dengan pertunangan ini, ya?" tanya Jaehyun saat mereka berjalan berkeliling di sebuah festival pinggir pantai.

"Hm?" Taeyong menoleh padanya. "Aku suka." Dengan segera ia membuang pandangan ke laut.

Jaehyun diam. Itu bukan jenis jawaban yang ia inginkan karena apa yang ia lihat tidak sama dengan apa yang ia dengar.

Jaehyun meraih tangan kiri Taeyong, menggenggamnya erat. Taeyong menatap tangannya dalam genggaman Jaehyun.

"Ada apa, Jaehyun?" tanya Taeyong.

"Aku sungguh-sungguh mencintai kamu," ucap Jaehyun. Ia menatap langsung pada sepasang mata besar berwarna gelap milik Taeyong.

Sesaat Taeyong tampak terkesiap. Kemudian gadis itu tersenyum lembut. "Terima kasih, ya." Bukan sebuah balasan cinta, hanya sebuah ucapan terima kasih yang terasa ambigu.

Taeyong terlihat seperti boneka porselen secara harfiah. Ia keras dan rapuh dalam waktu yang bersamaan sehingga Jaehyun harus sangat hati-hati menyentuhnya. "Kamu tahu, kalau kamu tidak nyaman, kita bisa memutuskan pertunangan ini."

Taeyong malah tertawa. Ia mengerling pada Jaehyun. "Kalau kamu sungguh-sungguh mencintai aku, lebih baik kamu tidak memutus pertunangan ini, Jaehyun."

"Dan membuat kamu hidup dalam paksaan?"

"Kurasa itu terdengar lebih baik daripada mati di tangan orang tuaku sendiri," jawab Taeyong. Sebuah kejujuran pertama yang Jaehyun dengar dari gadis cantik itu.

Mereka terdiam dengan deburan ombak yang menghisi hening. Rambut panjang Taeyong diterbangkan angin. Gadis itu memandang pada matahari yang bergerak turun di ufuk Barat dengan semburat oranye yang khas.

"Kalau perempuan dianggap sebagai mata uang, menurut kamu nilai aku berapa?" tanya Taeyong tiba-tiba.

"Aku tidak pernah menganggap kamu begitu." Dahi Jaehyun mengerut.

With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang