Aqila terus saja berguling-guling di kasur, entah ke berapa kalinya dia merubah posisi tidurnya.
Gadis itu tidak bisa tidur, pikirannya terus saja tertuju pada lamaran pria yang dia kenal hanya namanya saja.
Aqila menggaruk rambutnya frustasi, niat hanya ingin melunasi dare malah jadi rumit seperti ini. Siapapun bawa dia kabur dari rumah sekarang juga, agar ia tak jadi menikah.
Aqila mengambil handphonenya di bawah bantal ketika merasakan benda pipih itu bergetar.
Dia menaikan sebelah alisnya saat melihat ternyata yang menelpon itu nomer tidak di kenal.
"Hallo."
"Tidur," ucap dengan suara dingin dari sebrang sana.
Aqila semakin di buat bingung, siapa orang itu tiba-tiba nelpon terus langsung menyuruhnya untuk tidur.
"Siapa?" tanya Aqila
"Om yang bakal jadi suami kamu."
Pupil mata Aqila melebar, dapat dari mana nomernya. Dia semakin yakin pria itu penguntit, jika tidak bagaimana mungkin dia punya nomer dirinya.
"Om."
Di seberang sana Ervan berhedem pelan, dalam hati Aqila dia sedikit terpesona dengan suara deheman Ervan yang sangat candu untuk di denger. Naku, n dia cepat-cepat sadar ina gt dia sudah punya pacar.
Dia ini termasuk kaum wattpad jadi hanya soal deheman saja dia bisa suka.
"Om beneran mau nikahin saya?"
"Iya."
"Kok mau sih? Tau enggak, saya itu jauh banget dari kriteria cewek idaman, saya tuh jarang mandi, kaum rebahan, enggak bisa masak, kalau tidur suka mangap dan ilerran, emang mau?" Aqila mengumpat dalam hati, ketika ia membuka kartunya sendiri. Tidak apa lah, semoga saja mendengarnya, om itu menjadi ilfil dan membatalkan pernikahannya.
"Saya tidak masalah," ucap Ervan di sebarang sana dengan santai.
Aqila mendengus kesal, ia memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Ia melempar benda pipih itu dengan asal, ke kasurnya.
***
Seorang gadis berjalan di koridor yang cukup sepi, wajar saja karena ini baru saja pukul setengah tujuh pagi. Hanya ada murid-murid rajin dan yang sedang kebagian jadwal piket yang baru saja datang.
Apa lagi pagi ini sangat dingin karena baru saja reda dari hujan, membuat murid-murid pasti memilih berangkat siang.
Gadis itu terus saja berjalan dengan tatapan kosongnya, sampai di kelas ia tetap diam saat salah satu teman kelasnya menyapa.
Aqila---gadis itu duduk di kursi belakang dekat jendela, menatap lapangan yang masih basah bekas hujan. Raganya memang sedang menatap lapangan, tapi pikirannya sedang berkelana kemana-mana.
Brak.
"ANJ-astagfirullah." Aqila mengelus dadanya, untung dia tidak mempunyai riwayat penyakit jantung kalau punya berabe urusannya.
"Ngagetin aja lo, Han. Kalau gue jantungan terus meninggal gimana?" Aqila menatap tajam gadis yang entah sejak kapan sudah berdiri di depannya itu, sedang gadis yang di tatap hanya cenggegesan sebari menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Hehehe lagian lo pagi-pagi udah ngelamun aja, takutnya lo ke sambet penunggu pohon manga yang di gerbang."
Aqila memutar bola matanya malas menatap sahabatnya itu dengan jengah.
"Emang lo kenapa sih? Ada masalah? sini cerita bestie."
"Lagi males ngomong, nanti aja pas istirahat."
"Terus itu bukan ngomong namanya!" geram Hana, sedangkan Aqila tertawa puas melihat wajah Hana yang kesal. Setidaknya ia sedikit terhibur membuat moodnya balik, walau harus membuat sahabatnya itu menahan kesal.
"Btw, Dila belum datang?"
"Belum."
Bel masuk berbunyi, tak lama murid-murid mulai memasuki kelas. Dila pun sudah masuk ke kelas, guru yang mengajar datang dan memulai pelajaran.
Wajah murid-murid yang tadinya mengantuk langsung berubah segar ketika mendengar bel istirahat. Sedangkan guru hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah anak muridnya.
Guru yang mengajar mengakhiri pelajaran lalu pergi dari kelas, tak lama di ikuti oleh murid-murid yang berlarian ke arah kantin.
Sedangkan Aqila dan teman-temannya hanya berjalan santai menuju kantin di iringi obrolan.
"Lo katanya mau cerita?" Tidak hanya Aqila yang menoleh ke arah Hana. Dila dan Arkan pun ikut menoleh, mereka berdua tidak mengerti maksud dari perkataan Hana.
Sebelum bercerita, Aqila meminum jus alpukat nya terlebih dahulu. "Gara-gara kalian gue jadi terjebak di permainan sendiri."
"Maksud lo?" tanya Arkan tak paham.
"Kita kan kemarin main true or dare dan si Dila kasih tantangan gue suruh ajak nikah cowok yang ada di taman."
Dila, Hana, Arkan mengangguk paham, mereka penasaran dengan cerita Aqila.
"Jadi gue ajak tuh om-om yang lagi fokus ke laptop."
"To the poin aja sih, La." Hana sangat tidak sabar, mangkanya ia ingin langsung ke intinya.
"Oke, kalian liat sendiri kan kejadian kemarin. Nah, pas malemnya si om itu datang ke rumah."
"Mau ngapain anjir."
"Jangan potong omongan gue Markonah!"
"Hehehe maaf lanjut, lanjut." Hana menggaruk rambutnya yang tak gatal.
"Dia lamar gue dan ayah gue terima."
Brak.
"Astagfirullah!" Aqila mengelus dadanya ketika ketiga sahabatnya menggebrak meja kantin bersamaan. Hal itu membuat murid-murid yang ada di kantin menatap tajam mereka, ketiga temannya hanya cenggegesan sebari meminta maaf karena telah membuat kegaduhan.
"Btw, ko tau rumah lo sih?"
"Nah, itu juga gue bingung."
"Terus lu mau tunangan kapan?" tanya Arkan sebari memasuki baso kecil ke mulutnya.
"Tunangan mata lo, gue dua Minggu lagi nikah!"
Ukhuk.
Saking terkejutnya, Arkan sampai tersedak baso. Untung dengan sigap Dila---kekasihnya itu langsung memberikannya air.
"Kok secepat itu? Lu kan masih sekolah."
"Entah lah, itu keinginan ayah."
"Bagaimana dengan Gilang, pacar lo?"
Aqila terdiam mendengar ucapan Arkan, bagaimana kalau pacarnya tau dia akan menikah. Jujur saja ia mencintai Gilang, tak rela jika harus putus. "Entah."
Hai^^
Jangan lupa vote!
KAMU SEDANG MEMBACA
om, nikah yuk!
Teen Fiction[FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Berawal hanya ingin menyelesaikan dare dari teman-temannya itu, Aqila malah terjebak di dalam permainannya sendiri. Ia harus terjebak di pernikahan dengan orang asing yang ia ajak nikah saat menjalankan dare. Akan kah per...