part 13

1.1K 83 1
                                    

Hai, selamat malam gusy!"
ONY udah up nih!
Jangan lupa vote dan komen yak! Biar author makin semangat^^
Btw, kalau ada typo tandain yah!"

HAPPY READING 🌻
****

"Huh, akhirnya sampai di rumah." Aqila bernapas lega. Akhirnya ia bisa rebahan di rumah.

"Jangan tidur di lantai," tegur Ervan yang baru kembali dari dapur. Ia baru saja menata belanjaan yang tadi mereka beli.

"Bentar aja, om."

"Terserah kamu." Ervan berjalan ke arah tangga yang menghubungkan lantai dua. Ia akan berganti baju.

Tak lama ia kembali dengan kaos putih polos dan boxer, sudah kebiasaan Ervan kalau di rumah ia selalu mengunakan boxer. Menurutnya, boxer celana yang paling nyaman di pake.

Ervan berdecak pelan, melihat Aqila yang sudah tertidur pulas di lantai.

Ia mulai mengangkat tubuh Aqila, membawanya ke kamar.

"Untung kamu ringan, kalau berat. Udah encok saya gendong kamu terus," ucap Ervan sebari menatap wajah Aqila yang terus mengndusel ke dada bidangnya.

"Bocil ini." Ervan menggelengkan kepalanya melihat Aqila yang masih ndusel-ndusel ke dadanya.

Sesampainya di kamar, ia merebahkan tubuh Aqila. Lalu ikut merebahkan tubuhnya di sebelah Aqila.

Ervan mengambil ponselnya yang tergeletak di nakas, lalu mengetikan sebuah nomer. Setelah itu ia mengarahkan ponselnya ke telinganya.

"Dio, gue enggak balik lagi ke kantor. Lanjutin berkas-berkas yang gue kerjain," ucap Ervan to the poin setelah orang yang di sebrang sana mengangkat telponnya.

"Yang udah ada bini, sekarang betah di rumah."

"Sirik aja, mangkanya nikah."

"Nikah sama siapa?"

"Sama neng Cici."

"Sorry gak suka yang batang."

Dio langsung memutuskan sambungannya sepihak. Ervan tertawa pelan, ketika membayangkan Dio menikah dengan Cici. Bencong yang sering mangkal di pertigaan, Cici selalu saja menggoda Dio ketika berpas-pasan di jalan. Hal itu membuat Dio sangat menghindari bertemu Cici.

Ervan menaruh ponselnya di samping bantal, lalu ikut tidur siang.

****

"Masak apa?" Aqila membalikan badanya.

Pupil mata gadis itu melebar ketika Ervan sudah berdiri di belakangnya, posisi mereka sangat dekat. Apa lagi dengan Ervan yang hanya mengunakan boxer dan roti sobek yang terpampang jelas di depan matanya membuat ia deg deg an.

Aqila mengerjap beberapa kali, ketika tetesan air dari rambut Ervan jatuh mengenai matanya.

"Om ngapain berdiri di belakang aku!" Aqila mendorong tubuh Ervan memberi jarak.

"Kenapa?"

"Enggak baik buat kesehatan jantung," ucap Aqila pelan. Namun, masih bisa di dengar oleh Ervan.

Aqila berbalik badan, lalu melanjutkan memotong sayuran yang sempat tertunda.

"Cepat pake baju!" ucap Aqila ketika melirik Ervan yang malah berdiri di sampingnya.

"Saya mau bantu."

"Bentar lagi selesai, om pake baju dulu."

"Iya."

Huft.

Aqila bernafas lega ketika Ervan sudah pergi. Ia memegang dadanya yang masih berdetak kencang.

"Gila ngagetin."

Tak membutuhkan waktu yang lama, Aqila telah selesai memasak bertepatan dengan Ervan yang datang ke dapur.

Mereka berdua langsung menyantap masakan yang Aqila buat.

Setelah makan, mereka berniat menonton drama sesuai yang Aqila pinta waktu di supermarket tadi siang.

"Om jangan main hp." Aqila mengambil ponsel Ervan dari tangan si pemilik ponselnya.

"Saya enggak suka drama seperti ini."

"Bodo. Duduk di bawah om." Aqila menarik Ervan agar duduk di karpet bersamanya.

Mereka sangat fokus menonton film dengan cemilan yang menemani mereka berdua.

"Tadi perasan ada yang bilang enggak suka, tapi serius banget nontonya," sindir Aqila sebari menatap Ervan yang tengah fokus menonton film.

"Lagian saya gabut."

"Cih, ngeles terus."

Tak ada obrolan lagi, mereka kembali fokus menonton.

"Eh, kok ada ke gitu!" Pekik Ervan saat drama itu menampilkan adegan kiss.

Sontak Aqila menutupi mata Ervan dengan kedua tangannya. "Tutup mata om!"

"Kamu juga jangan liat." Ervan ikut menutupi mata Aqila dengan tangannya.

"Ila mah udah biasa, enggak usah di tutup."

"Udah biasa ciuman?"

Plak.

Refleks Aqila memukul bibir Ervan, setelah sadar ia langsung meminta maaf.

"Bukan, om. Ila enggak pernah ke gitu, maksudnya tuh sering liat ke gitu di drama."

"Oh, kalau kamu sering liat. Gimana kalau kita praktekan?"

"A---apa an sih, om!" Aqila menelan selvianya susah payah, jantungnya langsung berdetak kencang.

Ervan mendekati Aqila, ia menahan pinggang Aqila yang ingin mundur. Jarak mereka berdua hanya beberapa senti saja, hingga bisa merasakan deru nafas masing-masing.

Aqila semakin di buat takut dengan tatapan Ervan. Ia ingin sekali kabur dari sini.

"Hahaha muka kamu lucu banget!" Ervan tertawa lepas, setelah berhasil mengerjai Aqila.

Aqila mengerutkan keningnya, ia baru saja di kerjai. "Om, nyebelin banget. Buat aku takut aja!"

Aqila memukul Ervan mengunakan bantal dengan bruntal.

"Hahaha maaf, La. Maaf!"

Ervan menahan lengan Aqila yang memegang bantal. "Udah, ayok lanjut nonton."

Ervan menuntun Aqila untuk tidur di pahanya, lalu mengelus rambut gadis itu agar tenang.

Aqila diam menonton film, sebari menikmati elusan tangan Ervan di rambutnya.

Mereka melanjutkan menonton drama. Mereka sama-sama diam fokus dengan drama yang di tonton.

Ervan mematikan televisi ketika drama yang mereka tonton selesai. Ervan menunduk menatap Aqila yang lagi-lagi ketiduran. Gadis ini sangat suka sekali ketiduran dan ia juga yang terpaksa harus menggendongnya.

Ervan melirik jam dinding, di jam itu sudah menunjukkan pukul satu malam. Ternyata cukup lama juga mereka menonton. 

Ervan memindahkan kepala Aqila ke bantal sofa dengan hati-hati, takut gadis itu terbangun. Lalu Ervan pergi ke kamar. Tak lama ia kembali ke ruang tamu dengan membawa selimut.

Ervan ikut merebahkan tubuhnya di sebelah Aqila. Lalu menyelimuti tubuh meraka berdua.

"Saya males gendong kamu, jadi kita tidur di sini aja," bisik Ervan tepat di telingan Aqila.

****


om, nikah yuk! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang