Pulanglah...

358 45 4
                                    

NAMJOON'S POV.

Dengan diiringi 2 pak Tolol dan seorang security aku dibawa naik untuk menuju ruangan Jin Hyung.

Aku seperti pesakitan yang sedang digiring ke ruangan untuk di bius agar tenang.

Pak Tolol 1 yang biasanya akrab denganku menjadi bersikap dingin. Mereka bertiga tak ada yang bicara padaku. Baru setelah sampai di depan pintu ruangan Jin Hyung baru mereka bicara.

"Masuklah, tuan Seokjin menunggumu  Bobby ssi. Tolong bersikaplah yang baik. Kami siaga diluar dan selalu memantau anda"

Itu sebuah ancaman bagiku. Jika macam-macam pada tuannya maka tamatlah riwayatku.

Lalu mereka bertiga pergi dari hadapanku. Membiarkan aku disini sendirian. Benar-benar sendirian. Aku tak melihat nona Emily yang biasanya ikut heboh menyambut kedatanganku di kantor ini.

Dadaku langsung berdebar seperti biasanya ketika hendak bertemu dengannya. Apalagi kali ini aku membawa kesalahan yang sangat besar padanya. Aku tahu dia sangat marah padaku.

Tapi aku Kim Namjoon. Aku tak boleh gentar oleh apapun. Keganasan alam rimba diluar sana telah mengajarkanku bagaimana bertahan disaat sesulit apapun. Aku harus menghadapinya. Apalagi ini menyangkut nasib seorang bayi kecil. Bobby. Putraku.

Aku mungkin memang tak pantas menyebut diriku seorang ayah setelah semua ini. Tapi bagaimanapun juga aku harus menghadapinya. Aku harus berjuang. Demi cintaku. Demi rinduku padanya.

Dengan tangan gemetar aku mengetuk pintu dengan pelan. Dia tak sudi menemuiku, menyembunyikan Ara dan Bobby bukannya tanpa alasan. Itu semua dilakukannya karena dia sangat marah padaku.

"Masuk !!"

Dengan suara yang dingin dia menyahut.

Owh suara itu. Sudah beberapa hari ini aku sangat ingin mendengar suaranya. Merindukan intonasi bicaranya yang selalu tenang dan menyenangkan. Namun kali ini terdengar berbeda.

Dengan pelan aku memutar handel pintu.

Di tengah ruangan luas nan elegan itu aku langsung mencari sosok yang mengisi mimpi-mimpiku beberapa malam ini.

Kakiku dengan lemah melangkah masuk tanpa memutus pandanganku padanya. Dia selalu tampan dalam keadaan atau dengan raut wajah seperti apapun. Kemarahannya tak bisa menghapus garis-garis indah menghanyutkan di seputar bibirnya yang seksi.

Setelah menutup pintu aku semakin mendekat padanya. Tapi dia tetap duduk menyandar pada kursi nya yang tinggi. Dia menyandar dengan tenang disana sambil tangan kanannya memegang sebuah bolpoin yang diputar-putar ditangan.

Dia memandangku dengan sangat dingin. Tak ada sama sekali senyuman diwajah.

"Hyung....."

"Tetap disitu...."

Ujarnya lagi dengan tone suara rendah dan dingin.

Setelah hitam dan kemejanya yang putih seolah menegaskan siapa dirinya dan siapa diriku. Dan dasi dilehernya lebih mempertegas lagi kekuasaannya diruangan yang seolah menunjukkan siapa dirinya.

Ya, aku memang bukan siapa-siapa dibandingkan dirinya. Aku tak punya apa-apa tapi dia punya segalanya. Putraku dan wanita yang telah melahirkannya pun berada dalam kekuasaannya.

Jika biasanya aku akan langsung memeluk tubuhnya ketika berada dalam puncak kerinduan seperti sekarang. Tapi aku tak bisa melakukannya kali ini. Dia seolah memasang batasan tinggi  dan kokoh yang berdiri diantara kami berdua.

"Hyung, Joonie tak berharap Hyung memaafkan ku. Jangan maafkan aku, marahi aku, pukul aku kalau Hyung mau. Tapi jangan memasang jarak seperti ini denganku....."

Dear Namjoon...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang