—how to solve it?
writing is the only solution, for me
●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●
Angin sore itu membawa beberapa helai rambut pemiliknya hingga salah satu matanya tak dapat melihat objek disekitarnya-meski hanya ada sebuah bentangan sungai yang isinya sedang dialiri air yang berdansa mengikuti hembusan angin, ditemani beberapa pepohonan rindang tak terurus-ada banyak daun kering berjatuhan di sekitarnya.
Sang pemilik mata tidak sama sekali merasa keberatan-justru sangat bersyukur karena keberadaannya bisa sedikit disembunyikan oleh helaian rambutnya yang masih beterbangan. Dengan pandangan sematanya, dia amati sekitar, sambil memastikan bahwa lelaki disampingnya belum pergi meninggalkannya. jelas tidak, untuk apa dia pergi jika sampai sekarang aku masih menyandarkan kepalaku di pundak lebarnya. Tapi ia tetap mau memastikan-tangannya mulai mencari genggaman di dekat sana, mencari tangan pria itu. Perlahan tangannya meregang sedikit agar jari jarinya bisa saling mengisi kekosongan diantara jari jari lelaki itu.
"Kedinginan ya?" tanya lelaki itu.
"Engga" dengan suara serak tanpa energi yang dikeluarkan, dia mencoba menjawab hal yang justru bertolak belakang dengan kata hatinya. Padahal angin dingin itu jelas terasa menusuk tubuh mungilnya yang hanya berbalut rok sebetis dan kaos oblong lengan pendek. Kulitnya tidak mungkin berteriak kedinginan-meski benar begitu. Setiap sel di kulitnya hanya bisa pasrah, berharap sang pemilik peka jika ia butuh dihangatkan.
"Hobi banget nyakitin diri sendiri. Tanganmu udah kayak es, gemeteran lagi. Gaboleh kayak gitu, Buki"
Bukan pemiliknya, tapi justru lelaki itu yang menghangatkan. Lelaki itu mengeluarkan sepotong jaket dari tas ranselnya yang sudah bertengger di kursi itu-di sisi lain tubuhnya.
"Bangun dulu, diangkat kakinya biar ketutup sama jaketku"
"Mager"
"Buki," lelaki itu meregangkan pundaknya-bermaksud membangunkan kepala wanita itu dari pundaknya. Tangannya sigap menggenggam lembut sisi wajah wanita itu-sebagai ganti karena harus bangkit sementara demi kebutuhan sel kulitnya yang berteriak dalam bisu untuk dihangatkan.
Kaki wanita yang tadi dengan lemah tergantung di kursi itu, kini telah naik di kursi tempat mereka; membuat formasi duduk senyaman mungkin. Lalu menunggu pemilik jaket menyelimuti kaki dinginnya. Tapi-
"Buki, apa mau pulang?"
Pertanyaan lelaki itu spontan saja keluar, di atas rasa sakitnya melihat kekasihnya mengangkat sepasang kakinya susah payah karena sebenarnya ia tahu-buki lagi ga sehat. Sempat ada cetusan rasa bersalah di hatinya, tapi itu tak seberapa penting, dibanding rasa simpatinya yang tidak pernah berhenti tersalurkan-hanya untuk kekasih yang dicintainya selama 3 tahun ini.
"Kan aku udah bilang, mau cari udara, peuti"
"Di saat badan kamu ga baik baik aja?"
"Jangan kayak orang amnesia, barusan kamu gapapa-in aku"
Dalam beberapa frasa terakhir buki, yunseong balut sepasang kaki itu sampai tak ada lagi sel kulit yang tampak hingga menembus pupilnya. Memastikan bahwa anggota badan bawah buki terbalut sempurna dalam kehangatan semu berwujud jaket.
"Masih kedinginan?"
"Yunseong..
Pinjem pundak lagi?"
Tak terhitung sudah keberapa kalinya hatinya kian teriris hanya karena suara serak yang tak dapat terdefinisikan-suara yang keluar dari pemilik pita suara yang sedang dalam keadaan terbawah. Kini sepasang mata itu semakin tampak berkilauan-bukan, bukan karena keindahannya. Lebih kepada karena air mata buki yang menghiasi bola matanya di saat matanya cowong ke dalam karena kelelahan. Lelaki itu lupa, bahwa hanya dia yang saat ini sedang menjadi satu-satunya objek nyata dari rasa kesepian buki. Bukan karena tak punya orang terdekat, kekasihnya sedang berjuang dalam sebuah perang yang tak bisa hanya diselesaikan dengan seruan kata kata yang bisa masuk dengan mudah ke telinga hingga hatinya-dia sedang berperang dengan dirinya sendiri, sedang berperang dalam kesendiriannya karena tak punya arah, tak tahu siapa yang harus dia percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIARY; You Are Me, I Am You
General Fiction◇Half socmed au, half writings au. ◇Slice of life. Wonder how it feels to be Buki who have Hwang "Peutti" Yunseong as her pillar of emotion and her diary. They have always been so grateful to have each other to depend on in every ups and downs. ●●...