secure

0 0 0
                                    


●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

and i feel safe with you when it attacks me

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

Langkahnya terhenti begitu melihat ruangan yang tak Buki sangka akan ada di dunia ini. Ruangan selayaknya cafe, namun lantainya berlapis kaca transparan dengan pemandangan air biru laut yang menenangkan dengan beberapa ikan warna-warni berenang santai dalam air itu.

Buki membelalakkan matanya, diikuti dua ujung bibirnya naik perlahan. Pandangannya belum lepas dari beberapa pohon rindang di beberapa sisi ruang yang menciptakan musik menenangkan kala daunnya bergesekan dengan udara.

“How is it? Apakah cukup menenangkan?” tanya Yunseong, sambil mengusap pelan punggung Buki.

“Aku suka, banget,” bisik Buki, masih dengan kekaagumannya.

Bahkan teriakan girangnya tak perlu dimunculkan, sudah tergambar jelas di dua manik Buki yang berbinar.

Yunseong memandu Buki pada salah satu meja kosong. Bibir Yunseong tak dapat menahan lagi, kedua ujungnya mungkin sudah berada di telinganya saat ini. Senyum lebar Yunseong menggambarkan kelegaannya, melihat Buki yang tak berhenti mengagumi atmosfir di cafe ini.

“Ada bagian yang gaada kacanya, loh. Jadi kakinya bisa dicelupin di air. Tuh,” Yunseong menunjuk sisi lain,
“Kalau mau,”

“Di sini aja. Kasian ikannya kalau aku kobok-kobok pake kaki,”

Kekehan Yunseong juga menyambut waitrees yang membawakan menu ke meja mereka.

.

.

.

Buki menggenggam erat dua sisi kepalanya. Perlahan menarik beberapa helai rambut hingga terjambak oleh kedua tangannya. Kepalanya makin menunduk, dan satu-satunya yang bisa Buki lakukan hanya menutup matanya, dan menenggelamkan wajahnya dalam lengannya.

“B-buki.. hey?” tangan Yunseong sigap memegang lengan Buki sambil perlahan merilis jambakan Buki.

Buki perlahan melepaskan jambakannya. Dadanya naik turun tak teratur. Ia menatap sebentar laptopnya yang masih menyala, menampilkan beberapa layar file dan folder yang tak beraturan. Yunseong mengintip sejenak lapang kerja Buki—namun tak menemukan jawaban apapun.

“Istirahat dulu, ya?” bisik Yunseong.

“Maaf, peutti.. Buki bingung. Tiba-tiba gabisa fokus,”

“Gapapa, Buki. Tenangin diri dulu, kamu bisa lanjutin lagi nanti, kan?”

Buki menggigit bibirnya. Tatapan matanya tak beraturan, bersamaan dengan helaan napasnya yang tak teratur.

“Tapi dikit lagi,” jawab Buki, lemas.

Yunseong akhirnya memepersilakan Buki melanjutkan pekerjaannya. Namun, disaat yang sama, Yunseong justru menghentikan pekerjaannya. Dia memproses dirinya untuk meng-hibernasi laptopnya—bermaksud untuk fokus memantau keadaan buki.

Tepat saat laptopnya tertutup,

“Buki? Hey kena—”

Napas Buki yang kian tak teratur membawa Buki pada kondisi aneh. Buki mengeratkan tangannya di dua sisi rambutnya, kakinya terlihat gelisah sebelum akhirnya Buki berjongkok untuk meredakan kakinya, mendekatkan diri di lantai, dengan kondisi yang membuat Yunseong sangat khawatir.

Buki mengerang kecil sambil sedikit menjambak rambutnya, napasnya tak bisa diatur, hingga akhirnya Buki kembali menenggelamkan wajahnya di antara kedua lengannya. Buki merasa pandangannya mulai abu-abu dan buram. Telinganya tak dapat mendengarkan apapun selain keributan yang ada dikepalanya. Matanya terasa menghangat dan tak lama air matanya keluar.

“Hey hey, Buki, dengerin aku. Liat aku sebentar,”

Tangisan Buki akhirnya pecah juga. Tremor di dadanya membuat suara tangis yang terdengar tak stabil dan penuh getaran. Kedua orang itu kini tak peduli sudah berapa pasang mata menyaksikan keadaan mengkhawatirkan ini.

Yunseong merangkul lembut punggung Buki yang tampak bergetar selagi duduk di lantai, dan tangan lainnya mengelus pelan rambutnya sambil perlahan merilis jeratan tangan Buki—berharap jambakannya akan lepas perlahan.

“Okay. It's okay. Peutti di sini. Deep breath. Kamu aman sama Pettti,”

Bisikan lembut Yunseong perlahan meredakan sedikit getaran kencang di punggun Buki. Yunseong lalu meriliskan genggaman kecang kedua tangan Buki pada rambut tipisnya. Napasnya yang belum teratur perlahan memelan, namun masih terasa sesak di dada Buki. Mata buki akhirnya terbuka perlahan.

Ikan warna-warni yang berenang tenang di bawahnya mulai terlihat pada kedua maniknya. Suara gesekan angin pada dedaunan pohon pun mulai kembali ke pendengarannya. Wajahnya perlahan diangkat, dan dengan segala usahanya, Buki mengarahkan matanya untuk menatap Peutti.

“Peutti maaf—,”

“Kamu aman sama aku. Gapapa,”

.

.

.

Genggaman tangan Yunseong tak sekalipun dilepaskannya dari tangan Buki, meskipun sudah ada di bus. Buki menatap lesu genggaman tangan itu, dan menatap Yunseong yang tampak lesu dan pucat. Buki terus .enatapnya dengan prihatin.

Mengapa dia harus menyaksikanku seperti ini? Ini hal yang hanya diketahui oleh diriku sendiri. Mengapa ada malaikat sebaik Yunseong yang bisa sangat sabar melihat keadaan anehku ini?

Kala pertanyaan-pertanyaan itu muncul di kepala Buki, Yunseong membalas tatapan mata binar Buki.

“Maaf ya, Buki. Sepertinya aku ngajak keluar di waktu yang kurang tepat,”

Buki berkedip kaget. Sungguh bukan salahnya hal ini terjadi. Buki membungkam, tak berkutik seribu bahasa. Hanya dapat menunjukkan mimik khawatir dan prihatin tanpa jawaban. Buki menggeleng pelan, sebisa mungkin mematahkan alasan itu.

“Engga, peutti,”

Yunseong mengusap pelan rambut Buki,

“Kamu istirahat di rumah aku sama Bunda dulu, gapapa kan? Aku bener-bener khawatir..”

Kalimat terakhir Yunseong kali ini benar-benar membungkamkan bibir Buki. Kalimat tolakan kali ini akan sangat kurang berguna. Tak jarang dan bukan hal asing untuk mereka ketika Buki menginap bersama Bunda—dan kebetulan bapak Yunseong sedang tugas di luar kota. Jika Yunseong mengizinkan itu, pasti karena bapaknya sedang tidak di rumah.

Dalam waktu detik, air mata Buki memenuhi kedua matanya. Napas Buki makin melemah, dan tak ada yang bisa Buki lakukan selain menunduk lemas. Yunseong meletakkan kepala lunglai itu pada pundaknya.

“Maaf, Peutti,”

“Kamu aman sama Peutti, Buki,”

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

since i can't draw, this is what i can do. drawing in words—
how it is to be uncomfortable for being attacked by uncertainty. even i know, it's just temporary.

DIARY; You Are Me, I Am YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang