glad to meet you (2)

2 1 0
                                    

—nyaman dalam nyeri

apakah ada nyeri yang bisa membuatmu merasa nyaman?

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

Suara kaca mug yang bertemu dengan kaca meja di ruangan itu mulai mengusik gendang telinga buki. Sarafnya mulai bekerja, seakan menyuruh buki untuk segera bangun dari alam bawah sadarnya. Saat itu juga matanya diperintahkan untuk membuka. Putih. Adalah warna pertama yang dia lihat; cat langit-langit ruangan itu.

"Aku berisik ya? Sorry"

Suara itu menyadarkannya. oh, aku sudah bangun? terima kasih pada suara berat itu. Akhirnya buki mulai mengamati sekitar. Dia lagi ada di sofa di depan kamar kosnya. Terbaring lemah, berbalut selimut berwarna merah jambu kesayangannya. Aroma parfum bayi favoritnya mulai memanjakan saraf hidungnya- bener, ini selimut aku.

"Kamu ngapain?" tanya yang sedang berusaha membangkitkan dirinya agar bisa memproses apa yang sedang terjadi.

Dia mengamati apa yang sedang kekasihnya lakukan sampai datang dengan mug kaca dengan beberapa kepulan asap keluar dari dalamnya. Seketika itu juga, yang lebih sehat menahan agar badan mungil itu tak segera bangkit. Mempersilakan eksistensi kesayangannya untuk berbaring sebentar, agar otaknya tidak terkejut dengan apa yang baru saja terjadi pada dirinya.

Tangan yang selalu buki interpretasikan sebagai kehangatan- meski tak selalu bersuhu normal - mulai menyelipkan jemarinya di antara surai rambut bernuansa coklat itu. Di atas bantal yang terbalut rapi dengan kain lembut berwarna merah jambu. Pemiliknya melukiskan seutas senyum singkat dan hangat-karena merasa lega. Matanya mengedipkan sekali, atas rasa syukurnya karena iris mata coklat kesayangannya masih bisa membalas tatapannya- dia baik baik saja, kan?

"Kalau belum kuat, tiduran aja"

"Tadi kamu piggy back aku ya?"

"Gak berat kok" jawab lelaki itu dalam senyum simpulnya, dengan harapan wajah cemas yang sedang terbaring ini bisa menghilang dibawa kepulan asap yang masih mengudara dari dalam mug kaca itu.

"Bisa!" wanita itu menggenggam erat tangan yang masih ada di rambutnya, menjadikannya tumpuan agar dia bisa bangun-atau setidaknya bisa duduk stabil di sofa itu. Buki mengikuti lukisan senyum yang dibuat yunseong semenjak dia terbangun dari tidurnya. Seakan lupa dengan kejadian apa yang terjadi sebelum ini. Kedua tangannya belum melepas apa yang jadi tumpuannya. Masih tergenggam erat dalam lem ghaib buatan buki.

Senyumnya makin melebar, matanya semakin menipis, lesung di pipinya makin jelas, deretan giginya mulai menampakkan dirinya. Buki mencoba melakukannya di depan yunseong, entah untuk apa. Tapi dia bahagia dengan itu, dan dia harap lelaki itu merasa lebih lega karena tingkahnya yang spontan dia lakukan.

"Makasih, udah mau senyum" tangan lain yunseong mencubit pelan salah satu pipi yang lebih mungil badannya.

Mug yang mulai kehilangan kepulan asapnya akhirnya menjadi sebuah atensi bagi kedua insan yang masih melakukan kontak mata penuh butiran manis.

"Minum dulu, nih. Susu anget, gapapa kan? Kamu gabisa minum teh soalnya"

"Makasih, peutii"

"Tangannya pindah ke gelas dulu ya, biar ga kedinginan"

Sepasang mata yunseong mengikuti gerak geriknya. Kedua tangan mungil yang selalu jadi tempat favorit cuaca dingin untuk singgah, kini menggenggam kencang mug bersuhu hangat berisi larutan kesayangannya. Teh hangat memang enak, tapi teh adalah musuh nomor sekian buki-karena terkadang dia jahat bikin sel darah merahnya berkurang dari tubuhnya. Bibir yang sejak tadi pucat hingga hampir berwarna ungu seperti sudah tidak sabar untuk segera mendapat kehangatan juga dari susu itu.

Entah kenapa, untuk kali ini yunseong benci poni buki -padahal yunseong selalu mengagumi poninya yang selalu terasa melengkapi wajah mungilnya. Bukan, sepertinya bukan poni yang dia benci. Tapi helaiannya yang mulai panjang kini menutupi sepasang buah seni Tuhan yang membuatnya jatuh cinta dengan buki. Matamu, buki. Matamu ditutupi sama ponimu. Tidak tahan lagi, dia bawa helaiannya ke sisi-sisi wajahnya, dan menyelipkan beberapa di belakang telinganya.

Sang pemilik yang baru saja mau meneguk susunya mendelik heran, menolehkan pelan wajahnya yang sedang setengah tertutup oleh mug kaca yang sedang dia minum isinya.

"Kenapa?" tanya yang lebih mungil setelah meneguk seluruh susu di mulutnya.

"Poninya jangan lupa dipotong"

"Ntar aja lah, nyaman kayak gini"

"Karena bisa nutupin mata kamu?"
Sang empunya poni hanya bisa mengangguk pelan sambil membawa ujung bibirnya ke bawah wajahnya pelan.

"Tega ya kamu? Padahal pacarmu mau liat si cantik loh. Gaboleh?"

Yang ditanya cuma diam. Menaruh mug itu di atas kakinya. Mengalihkan pandangannya ke ubin yang sedang dia pijaki.

"Bercanda, sayang. Jangan marah dong? Ayo senyum lagi?" ajak lelaki itu, sambil mencubit kembali pipinya, berharap lesung yang dia tunggu tunggu muncul kembali, out of nowhere?

"Yunseong..."

"Ya?" tangannya berpindah kembali ke surai rambut itu.

"Pinjem-"

"Boleh. Tapi habisin dulu susunya"
Tanpa aba-aba, yang sedang memegang mug langsung meneguk seluruh isinya memasuki kerongkongannya. Iya, dalam keadaan panas-hangat, susunya dia telan begitu saja, memaksa segera masuk ke lambungnya.

Yang memberi perintah sejujurnya kaget-tidak menyangka kalau akan
begini jadinya.

"Udah!"

Begitu dia pastikan mug kaca itu tertaruh aman di meja, yunseong yang ada di sebelah kanan buki membetulkan duduknya di sofa itu. Memastikan dia nyaman dengan duduknya, sambil menyandar ke sofa itu. Tangan kiri yunseong menggenggam tangan kanan buki. Lalu tangan kanannya menepok pundak kirinya dan kepalanya dia miringkan ke kiri; sebuah isyarat bahwa buki bisa menaruh seluruh bebannya di sana, kapan saja. Asalkan dia dalam keadaan siap.

Yang mungil tersenyum geli. Menaikkan selimutnya hingga menutupi badan-kecuali kepalanya, karena kepalanya lah yang akan mendarat di pundak kesayangannya.

"Kok kamu bisa ambil selimut aku tadi?"

"Ada di depan kamar tuh? Mau di laundry kan? Habis ini aku anter"

"Kirain masuk kamar aku..."

"Tadinya mau gitu, tapi ntar buki marah terus ngusir aku lagi?"

"Ehehehe"

"Masih kedinginan gak?"

"Kamu kedinginan ya, peuti?"

"engga. Aku udah pake jaket nih"

DIARY; You Are Me, I Am YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang