i thought i've healed, but i haven't
●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●
—yunseong p.o.v
Kupikir semua urusan ini sudah selesai di hatiku, tapi kenapa hal itu masih menyiksaku?
i should've been healed.
langkah kaki setengah berlari itu semakin terdengar kencang. meski aku tahu dia datang dari arah kiri, aku tetap menatap ke bawah. tepat saat itu, suara langkahnya berganti menjadi suara deru napas keras bagai seorang atlet yang baru saja selesai melakukan maraton. mungkin ini saatnya aku menoleh ke kiri.
seiring pelannya tolehanku, aku mulai berdiri. sebisa mungkin aku utas senyum meski akan terbaca menyakitkan baginya. aku mengambil napas sebentar sambil memejamkan mata, lalu merentangkan kedua lenganku. angin kencang di atas bukit ini menerbangkan sedikit lengan jaketku.
seketika itu, wanita berponi yang sudah menahan langkahnya mulai berlari padaku. mata sembabnya kini semakin basah selama larinya. tanpa jeda, dia memelukku erat. seketika aku mengeratkan lenganku, dia terus-terusan memukul dadaku kencang—tidak sakit bagiku. aku yakin lelahnya dia telah memakan seluruh energi pada pukulannya.
“yunseong jahat! kenapa.. yunseong.. jahat” pada setiap katanya, dia pukulkan genggaman tangannya padaku.
“maaf...”
“nangis aja! you deserve it! yunseong jahat!”
sembari menunggu dia menyelesaikan pemberontakkannya, aku peluk lebih erat lagi sosok mungil ini. aku tau ini tidak seberapa menenangkan, tapi aku ingin dia bisa tenang dan sadar, bahwa,
aku ada di sini
dia tahu, kali ini aku benar-benar rapuh, sedang hancur, dan pecah. tanpa sadar, air mataku mengalir santai ke helai-helai rambutnya.
“maaf”
.
.
.
aku tidak yakin apakah waktu bisa berhenti. pada saat itu, semua memori sedang terulang. betapa menyakitkannya melihat wanita mungil ini terlemah duduk di depan pagar rumah, menunggu seorang yang dia tunggu kabarnya sambil mengeratkan sweaternya di tengah dinginnya angin sore. hatiku semakin nyeri melihat bahunya mulai naik turun, seakan sedang terisak.
aku hanya bisa duduk lemah di bawah jendela itu, berusaha menahan air mataku—tentu saja hasilnya nihil. rasanya seperti aku sedang menjadi pasangan terburuk di dunia, membiarkannya menangis sendirian, tepat di depan rumahku. dan bahkan aku tahu dia di sana. aku bahkan tak yakin apa dia tau aku sedang bersamanya.
terlalu menyakitkan melihatnya seperti itu setiap sore.
akhirnya aku membawanya ke bukit ini
.
aku,
hanya tidak ingin dia ikut merasakan sedih.
untuk masalah ini.
karena seseorang itu datang lagi ke rumah. Meminta maaf pada kami untuk sesuatu yang sudah hancur. kami menerima maafnya. tapi aku masih belum rela betapa tak ada nya tanggung jawab orang itu setelah menghancurkan keluargaku.kedatangannya manusia keji itu saja sudah menghancurkanku.
hari itu aku memberontak dan tidak kembali ke rumah dua malam. aku menetap di rumah hyeop. semua orang rumah tahu aku di sana. mereka maklum, karena aku yang paling tidak bisa menahan perasaan itu. aku tidak paham bagaimana keluargaku bisa menerima itu semua.
aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. selain keluargaku. dan buki.
.
.
.
“pokoknya, selama aku read kamu, aku baik-baik aja ya buki”
“aku terus-terusan mengulang itu di kepalaku. setiap hari menunggumu di depan rumah, berharap setidaknya kamu keluar hanya untuk buang sampah or something...”
kini hatiku semakin nyeri. menyadari bahwa wanita ini menyiksa dirinya dengan kalimat yang aku buat sendiri. memang benar aku dalam keadaan utuh, tapi hatiku tidak.
“makasih udah mau percaya dan bertahan sama aku. pasti capek kan bohongin diri sendiri? maaf sedihku harus mengorbankan kamu” ucapku lirih.
“tapi kamu lebih membohongi diri sendiri, yunseong. aku ga suka, aku gamau!”
“iya maaf...”
buki yang sedang duduk di sebelahku menatap pemandangan hijau di atas bukit ini kemudian menoleh padaku.
“maaf ya peutti udah marahin kamu yang gaada salah. peutti boleh marah dan sedih kok. aku harusnya bisa lebih sabar” ucapnya saat itu sambil mengusap ubun-ubunku.
seribu maaf pada satu sama lain mungkin tidak cukup. wanita ini sudah terlalu banyak tersakiti. bahkan dalam hidupnya sendiri saja sudah cukup menyesakkan baginya. kenapa aku harus menambah rasa sesaknya?
“sekarang, gaboleh nyalahin diri sendiri. buki gapapa kok. buki cuma khawatir dan panik sama wa kamu yang akhirnya terjawab setelah seminggu. bahkan kaget banget diajaknya ke sini. sekarang... stop hating on yourself, okay?”
aku genggam jari-jari yang masih menyelusuri helaian rambutku, menaruhnya di belakang punggungku, dan merangkulnya. untuk beberapa alasan, aku bersyukur masih menjaga wanita kecil ini. namun, sepertinya aku juga tidak bisa menjadi sebenar-benarnya malaikat baginya. pada akhirnya, manusia juga boleh sedih dan marah.
aku bersyukur, dia orang yang menyadari, bahwa aku bukan malaikat.
...
“hah gimana? kok bisa kamu tau itu aku? emang apa coba ciri khasku?”
“nih” aku menyenggol poni kesayangan buki yang paling dia hargai.
“kenapa emang poniku? yang punya poni juga banyak?!”
“lucu. khas banget di mataku”
“terus kenapa waktu itu yunseong di sini ngeliatin aku lagi nangis di bawah itu? lagi sedih juga?”
“iya, karena masalah ini..”
“wouw, ternyata pertemuan kita jauh lebih lama dari yang aku kira ya?” buki terheran sambil terkekeh dengan fakta ini.
Fakta bahwa tempat ini menjadi saksi; bahwa alasanku bertahan, adalah karena menemukan dirinya yang sedang putus asa. bahwa aku tidak mau wanita mungil itu berakhir sepertiku. meski gagal hari ini, aku akan tetap mencoba.
aku akan tetap bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIARY; You Are Me, I Am You
Fiction générale◇Half socmed au, half writings au. ◇Slice of life. Wonder how it feels to be Buki who have Hwang "Peutti" Yunseong as her pillar of emotion and her diary. They have always been so grateful to have each other to depend on in every ups and downs. ●●...