kulit di wajahku mulai merasakan aliran dingin yang datang dari garis tengah kepalaku. Perlahan mengalir, tak tentu arah. Seolah menimbulkan retakkan di tengah dua pipiku. Ah tidak, mereka akan membasahiku saja, kok. Tidak lebih.Bernapas. Tetaplah bernapas. Sesekali terhenti karena ingin menahannya, tak ingin menimbulkan suara yang membuat orang di sekitar bertanya-tanya. Bernapas.. setidaknya tetaplah begitu. Menyadari kalau jiwa ini masih melekat di raga yang tak sekuat baja.
Nyeri. Awalnya ada di tengah tubuh—lebih tepatnya bagian dada di atas. Menjalar sedikit ke atas, membuat pita suara tertekan. Menjalar ke kanan dan kiri, ngilu sampai ke jari-jari tangan. Spontan aja, jari-jari tangan yang tak sanggup menahan rasa itu, mulai menggenggam erat ibu jari. Ngilu, nyeri. Tapi masih bisa kok, bertahan. Matahari kini bukan lagi jadi alasan kepalaku mulai pening; nyeri dada itu yang menjalarkannya
Kubuka mata perlahan, berharap rasa itu menghilang. Ah, tidak. Masih ada. Dan makin sakit. Kupikir melihat dunia kembali akan menyadarkanku kalau masih ada banyak jalan di dunia ini. Sedangkan yang ada di otakku—tidak. Hanya penuh pertanyaan tak terjawab.
Setidaknya, napasku masih ada. Nyeri masih menjalar sampai ujung-ujung jari tanganku. Tapi air ini masih mengalir?
Baiklah,
Memang ini yang harus dirasakan saat sedihku.
.
.
.“Buki..?”
“Eumm?”
“Ini tisu. Di lap dulu air matanya”
“Oh... eum.. makasih”
“Habis ini kita jalan-jalan ke deket pantainya, oke?”
Setidaknya, aku punya dia. Kalaupun juga tidak, tak masalah. Aku akan terus belajar berdiri, tanpa harus bergantung dengan orang lain,
seharusnya.tapi... kapan? Dan apa aku bisa?
“Kamu pasti bisa, Buki. Jangan menyerah, ya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
DIARY; You Are Me, I Am You
General Fiction◇Half socmed au, half writings au. ◇Slice of life. Wonder how it feels to be Buki who have Hwang "Peutti" Yunseong as her pillar of emotion and her diary. They have always been so grateful to have each other to depend on in every ups and downs. ●●...