kepemilikan (2)

0 0 0
                                    


●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

Is it more comforting for not knowing everybody in this world so that when they leave i would never feel lost?

Then it would be better if no one would ever care when i'm gone.

[i'm sorry, but, what make you think like this?]

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

waktu buki sudah dia selesaikan. buki sudah merampungkan tangisnya. suasana cukup hening sekitar lima menit di ruangan itu. yunseong belum melepas genggaman tangannya, hanya kadang sesekali buki melepas salah satu tangannya untuk menyelesaikan bisnis air mata di wajahnya. 

“satu setengah jam menuju jam sepuluh. masih ada banyak waktu untuk cerita,” bisik yunseong di tengah keheningan,
“kalau buki mau,” lanjutnya.

“yunseong, keadaan lebih baik ga sih kalau buki ga kenal yunseong?” jawab buki, aneh. cukup mengejutkan yunseong, hingga yunseong mengeratkan genggaman tangannya.

“H-hah?”

“lebih baik ga sih kalau buki hidup seorang diri, ga kenal siapa-siapa? ga kenal teman-teman buki. ga kenal guru-guru buki. ga kenal ke—keluarga buki?” lanjut buki dengan penekanan yang jelas di setiap katanya—amarah buki bergejolak.

“ka-kamu kenapa ngomong gitu buki?” sekali lagi, telapak yunseong menambah sedikit tenaganya menggenggam tangan buki yang semakin melemah.

kini ruangan itu hanya berisi suara napas dalam dan cepat buki. entah yunseong menangkapnya atau tidak, itu adalah bagian terburuk dari seorang buki yang begitu lemah, mengekspresikan rasa amarahnya.  
buki mengangkat wajahnya, menatap yunseong dalam,

“jadi kalau mereka pergi buki ga perlu merasa sedih. dan selagi tak ada yang mengenal buki, akan terasa lebih ringan kalau buki pergi, kan?”

“buki? ka—”

“yunseong. aku ga maksa yunseong buat ngerti. jadi kalau yunseong mau marah sama buki habis ini gapapa. ini tuh, emang susah dimengerti. seminggu ini, ketika buki menghilang dari 'peradaban', ada hal yang selalu mengganggu. —

kenapa sih harus memiliki sesuatu kalau nantinya akan pergi? kenapa sih harus menjaga sesuatu kalau nantinya akan diambil? hidup sebercanda itu? mending buki hidup sendiri tanpa harus kenal orang lain, biar ga perlu ngerasain yang namanya KEHILANGAN

— ganggu. ganggu banget yunseong. buki kesel. buki marah. bukan sama orang atau sesuatu yang pergi itu. buki marah sama diri sendiri. sependek itu jalan pikir buki? tapi iya, itu yang buki rasain. dan perasaan itu GANGGU banget. buki kesel. buki gamau ngapa-ngapain sekarang. buki gamau tau juga sekarang harus apa. buki cuma pengen berdamai sama perasaan GILA ini.”

yunseong memejamkan matanya, berusaha mengatur napasnya juga yang kini terbawa oleh atmosfir emosi buki. tak ada pilihan lain bagi kepala yunseong selain menunduk. pundaknya naik tinggi dan turun sedalam-dalamnya. buki mengalihkan pandangannya. sejujurnya, buki juga tak tahan dengan reaksi yunseong. buki juga tahu risiko yang akan terjadi ketika cerita tadi keluar begitu saja dari mulutnya. buki tahu betul bagaimana topik ini cukup menyesakkan yunseong juga. Saat ini, air mata buki cukup malas untuk mencari perhatian, karena emosi marah buki terlalu mendominasi. 

“bu-buki.. i-i'm sorry” yunseong mencoba mengangkat kepalanya. namun sayang, kelopak matanya belum mengijinkan matanya terbuka,

“i'm sorry that you have to go through this pain”

ruangan ber-AC ini sudah cukup memanjakan atmosfir dingin yang mereka buat saat dinner tadi, namun kini, rasa dingin itu lebih menusuk dan menyayat kedua hati. taplak meja makan yang tidak beraturan telah menjadi saksi betapa kerasnya usaha yunseong menggenggam tangan yang putus asa. lampu kota yang seharusnya menjadi teman cerita indah mereka malam itu kini juga menjadi saksi betapa berdukanya ruangan ini. kini, hanya ada suara deru napas keras yang sedang diatur oleh masing-masing pemiliknya. 

“yunseong... yunseong? hey.. kamu ga perlu merasakan hal ini. i'm sorry,”

“buki,” yunseong akhirnya bisa membuka matanya setelah berusaha keras mengatur napasnya,

“kamu butuh apa, sekarang?”

“gatau” jawab buki, yang entah kenapa terdengar kembali jutek.

“okay, so,” yunseong mengambil napas, “keliatannya selama ini janji-janjiku seperti; akan selalu ada untukmu terdengar impossible di telingamu untuk saat ini. apa aku gausa ngomong gitu lagi?”

“n-no. you can say that, actually. itu bikin buki tenang. it's just.. you know” ucapan buki pun ikut terjeda, “the universe. maybe, the universe has the reason—that i don't know, or maybe, i don't have to know. haha. lucu ga sih, kayaknya sekarang aku terdengar lagi nyalahin takdir?”

“buki, how about,” yunseong mulai angkat bicara, menyetop segera suasana duka ini,
“as we always do. let's focus on this moment,”

.

“i'm with you”

.

.

.

“kita bisa berdamai dengan perasaan ini buki. percaya ga?”

“i wish i can,”

“buki juga takut kepercayaan ini hilang?”

“well, kepercayaan itu aku sendiri yang buat, sih. But.. iya tetep takut dia hilang,”

“yauda gapapa, mungkin kerjaan takdir lagi yang ngilangin. tinggal kita perbarui?”

“dih, enak banget pak peutti, ngomongnya?”

“jadi, mau coba untuk percaya?”

“mau. kita harus damaikan perasaan ini,”

DIARY; You Are Me, I Am YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang