Which pain?
●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●
“halo, buki? maaf tadi aku lagi ada rapat. kenapa?”
“yunseong.. buki kayaknya ga pantas hidup ya?”
”...”
“karena buki gampang sakit,”
“buki?”
“hm?”
“sekarang lagi di mana?”
“sofa depan kamar,”
“oke. aku sampai sana 15 menit lagi. apa yang dirasain, buki?”
“takut ke toilet, buki capek bolak balik. sakit perut,”
“jangan matiin telponnya , ya,”
▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎
suara pintu terbuka itu cukup keras, sampai buki terhentak kaget, melupakan fakta bahwa dia masih terhubung voice call dengan yunseong. buki mengernyitkan mata, memfokuskan pandangannya pada pria yang membuka pintu itu, lalu melirik ke hp—masih tersambung, tapi yunseong udah datang...?
pria itu sedikit berlari sebelum duduk di sofa, lalu memeluk wanita yang masih mengedipkan mata berkali-kali, menerka siapa yang memeluknya. khawatirnya mereda ketika tahu panggilan yunseong yang tidak dijawab buki berkali-kali selama voice call terjadi karena buki terlelap dalam sakitnya. yunseong mengusap kepala hingga punggung buki pelan.
“yunseong kenapa?”
“syukurlah,”
“oh iya. buki ketiduran barusan,”
yunseong melepas pelukannya dan menggenggam erat kedua pundak buki. angin semilir dari pintu menerbangkan beberapa poni buki hingga sedikit mencolok matanya. buki mengedipkan mata berkali-kali, kini menerka tingkah yunseong yang menatapnya khawatir.
“yunseong, lambung buki kambuh lagi,”
“iya, sakit ya?” tanya yunseong, dengan tangannya menyisingkan beberapa poni buki ke samping.
“iya sakit. takut,” bagai anak kecil yang mengadu pada ibunya, buki mulai cemberut dan terlihat matanya berlinang air mata.
“takut apa?”
“toilet..”
usai mengkonfirmasi keadaan buki, yunseong membuka tas kerjanya dan mengambil beberapa tablet dan kapsul obat. yunseong melihat sekeliling sofa—oh, ada!—buki selalu membawa tumblr ke mana-mana, bahkan ketika buki hanya berada di kamarnya.
“udah makan?” yunseong menyiapkan salah satu obat yang dibawanya.
“belum,”
“habis ini makan ya. diarenya banyak?”
“lumayan..” jawab buki lemas melihat yunseong mulai menyerahkan salah satu obat lambung untuk buki.
“minum ya, sayang. please?” dari sekian banyak keadaan, kali ini yunseong cukup serius untuk meminta buki meminum penyembuh lambung buki satu-satunya.
buki meneteskan air matanya—setelah sekian menit dia tampung di kantung matanya selama bicara dengan yunseong. buki mengalihkan pandangannya dari kapsul obat itu—sungguh, aku benci obat—batinnya. tapi buki tak kuasa menahan dirinya agar tidak menelan obat itu, karena yunseong terdengar sungguh-sungguh, memintanya untuk menyembuhkan dirinya.
“gapapa, ada yunseong di sini. buki bisa sembuh,"
“give me a second..”
yunseong mengangguk pelan, pada tangan lainnya, dia usap pundak buki. ia menyaksikan buki mencoba sangat kuat untuk meminum obat itu, seperti sulitnya buki menahan air matanya. mungkin penyakit ini tidak seberapa penting di mata orang lain, tapi bagi yunseong, ini bahkan lebih penting dari sekedar setia di sisi buki. kesehatan buki adalah nomor satu dalam urusan hubungannya.
“buki ambil obatnya kalau udah siap, okay? pelan-pelan aja,”
bagi beberapa orang, menelan obat semudah menelan makanan yang tidak sengaja tertelan ketika belum seratus persen terkunyah—se sepele itu, kan?
tapi bagi buki, ia butuh kekuatan penuh—secara mental—dalam meminum obat. buki sangat benci obat, entah pada alasan yang mana.
“ini obatnya biar buki ga sakit lagi. yunseong juga gamau buki capek ke toilet,"
“buki emang gampang sakit ya, yunseong? gapapa sih, tapi kenapa untuk sembuh harus minum obat, ya?” tanya buki lesu, dalam tangis sunyinya.
“buki bukan wonder woman yang anti sakit, jadi sakit itu gapapa. gampang sakit juga gapapa. itu bukan kesalahan buki,” ucap yunseong, jauh lebih pelan dari sebelumnya. “dan kita bisa perbaiki ini sama-sama,”
yunseong merangkul erat buki yang tampak semakin lesu, dan seakan ingin menyelesaikan bisnis menangisnya. kepala buki tersender nyaman di pundaknya, dan mengalirkan beberapa beban matanya ke pundak itu. tangan yunseong tak berhenti mengusap rambut buki.
waktu yang sudah tidak begitu penting untuk yunseong. menemani buki di tengah sakitnya memang butuh waktu, tapi bukan masalah, yunseong hanya ingin membersamai derita yg buki alami.
dengan kepala buki masih di pundak yunseong, buki mengambil kapsulnya dan mempersiapkan diri menelan obat itu. usai obat itu masuk ke lambung, yunseong dengan sigap memeluk erat buki, sehangat mungkin.
“sayangnya yunseong cepet sembuh ya?”
“i hope so,” buki memeluk lebih erat yunseong, dalam rasa takutnya yang masih mengudara.
“yunseong di sini sampai nanti malam. kita pesen bubur dulu ya,"
“yunseong,”
panggilan buki menghentikan pergerakan yunseong yang baru saja ingin memesan makanan online.
“buki sayang yunseong, selalu,”
respon yunseong dengan tatapan yunseong kini membawanya memeluk buki lagi. di belakang punggung buki, ia mengetik di layar ponsel pintarnya. buki yang menyadari hal itu langsung menghentikan pelukannya, dan sedikit terkekeh. buki memberi sinyal kepada yunseong untuk menyelesaikan urusannya.
“yunseong juga. selalu”
●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●
is it that mental ill that manifesting on physical ill?
KAMU SEDANG MEMBACA
DIARY; You Are Me, I Am You
General Fiction◇Half socmed au, half writings au. ◇Slice of life. Wonder how it feels to be Buki who have Hwang "Peutti" Yunseong as her pillar of emotion and her diary. They have always been so grateful to have each other to depend on in every ups and downs. ●●...