reason

0 0 0
                                    


●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

Helaan napasnya begitu keras hingga dadanya mengecil. Lemas tubuhnya, putus asa menyadari bahwa hari ini mungkin salah satu hari di mana Buki akan menulis pada diarynya bahwa hari ini adalah hari yang kurang nyaman. Pandangannya kosong ke aspal yang kini menjadi alas roda bus.

Rangkulannya, seperti biasa, adalah sebuah tanda dari rasa aman untuk Buki. Tebakan Yunseong kadang juga salah, genggaman tangan justru lebih bisa mengobati perasaan menggebu lainnya. Tapi, ya, karena rangkulan ini tidak diprotes, maka Yunseong mengeratkan secara halus telapak tangannya pada bahu Buki.

Hari melelahkan Buki setelah bertemu banyak manusia yang sangat penasaran dengan visi hidup buki. Adalah juga hari melelahkan Yunseong yang seharian ini terus mencoba mencuri waktu untuk sekedar makan di tengah kerjanya. Dan keduanya bertemu, untuk dinner weekend seperti biasa—sedikit beda, karena mereka merencanakan sekarang—hari jumat sore.

Tarikan napas Buki terhenti tatkala pikirannya terlalu hanyut pada energi negatif yang sedang menyelimutinya. Kelopak matanya mencoba melindungi mata buki yang semakin penuh dengan air mata. Ah, ga peduli, gaada yang lihat. Buki menundukkan kepalanya sambil berharap tudung hoodienya akan mewakili wajahnya sejenak, agar Buki bisa fokus menahan isakan tangisnya.

Gerakan sesederhana menundukkan wajah pun disadarinya, hingga Yunseong memeriksa perlahan wajah Buki yang tenggelam dalam tudung hoodie. Tanpa bertanya, tanpa alasan, tanpa interupsi, rasanya seperti sel otaknya menyuruh lengannya untuk tetap pada rangkulannya, dengan sedikit lebih erat, yah, semoga kode ini bisa sampai di sel otak buki sebagai rasa aman dengan keadaan mendadaknya ini.

Bus dengan jalur tujuan mereka datang. Kali ini Yunseong sedang tidak merasa perlu untuk menerapkan ladies first karena tidak ingin mengganggu penumpang lain. Yunseong mengambil antrian terakhir penumpang masuk, dan menggenggam tangan buki di belakangnya. Dia scan dua kali kartunya, lalu segera mencari tempat duduk kosong di kursi paling belakang. Beruntungnya, dekat jendela kosong—untuk Buki.

Yunseong mengeluarkan satu masker medis dari tasnya,

“udah mau malem, biar ga kambuh alerginya,”

Maskernya punya dua tujuan. Mencegah alergi Buki yang akhir-akhir ini sering kambuh, dan menutupi kondisi buruk Buki hari ini—yang bahkan sampai detik ini pun, Buki tidak berhenti meneteskan air mata sunyinya.

“Makasih,”

“Tunda dinner besok aja, ya, gimana?” tanya Yunseong pelan selagi Buki memakai maskernya.

“Boleh,” jawab Buki, singkat.

“Oke. Habis ini kita turun,”

Sebagai gantinya, Yunseong mampir sejenak ke supermarket di gang yang sama dengan kos Buki, setelah turun dari bus. Beberapa bungkus onigiri diberikannya kepada Buki.

“Kalau kurang ntar deliv food aja. Pasti ada malem-malem juga,”

Buki menjawab dengan anggukan sambil mengikuti langkah Yunseong untuk memulangkan Buki.

.

.

.

“Hmm. Pengen sendiri atau ada permintaan?” tanya Yunseong yang sedang berada di depan pagar kos, sambil memegang kedua bahu Buki.

Bola mata Buki bergerak tanpa arah, berusaha memfokuskan di kedua manik hitam Yunseong, namun tak berhasil.

“Aku bisa temenin sampai jam delapan,”

“Yunseong,”

“Hm?”

“Coklat enak,”

Tak ada reaksi apapun dari mimik wajah ataupun anggota tubuh Yunseong, meskipun kakinya sudah siap berlari ke supermarket tadi untuk membeli coklat kesukaan Buki.

“Bunga matahari cantik,” ucap Buki tanpa ekspresi, namun akhirnya menatap dua manik hitam Yunseong, jauh ke dalam.

Yunseong melirikkan matanya sambil mengangguk dan tersenyum simpul.

“Angin di pantai seger,”

“Besok ya?” tak kuasa menahan gemas, Yunseong sedikit terkekeh dengan kalimat-kalimat yang baru saja keluar dari mulut Buki.

“Engga. Buki masih capek. Barusan cuma ngomong aja,”

“Oh-oke. Yauda istirahat ya. Nangis emang bikin capek,”

Lalu kemudian diakhiri dengan pelukan Buki dengan kakinya yang berjinjit menyesuaikan tinggi Yunseong.

“Kabarin Buki kalau Peutti udah di rumah,”

“Kabarin Peutti kalau Buki butuh sesuatu, ya,”

“Aku sayang Yunseong,”

“Peutti juga sayang Buki,”

.

.

.

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

What's the reason?

DIARY; You Are Me, I Am YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang