Joshua said "cause I'm your home, home, home, home"●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●
“lock screennya ganti lagi. siapa tuh?”
“Iya~ Joshua!”
“Joshua Suherman?”
Tepat setelah pertanyaan itu terucap, telapak tangan Buki mendarat dengan keras di lengan Yunseong. Yunseong mengelus pelan lengan bekas pukulan itu sambil tertawa kecil. Buki langsung mendorong trolinya sambil mencari belanjaan selanjutnya yang telah dia list di smartphonenya.
“Iya, iya maap, sini aku aja yang dorong sayang,”
“Gak!”
“Bukannya harusnya aku yang marah ya kamu selingkuh sama Joshua ikan dikobok-ko—”
“SEVENTEEN!” pita suara Buki memekik di tengah swalayan ini.
“Haha iya bercanda yaampun, maaf, maaf,” yang pada akhirnya Buki juga menertawakan Yunseong yang sudah habis dagingnya dicubit banyak oleh Buki.
.
.
.
Sebagaimana orang-orang yang tak sadar dirinya sedang melamun, Buki belum juga sadar, padahal sudah ada tangan Yunseong yang melambai di depan kedua matanya. Akhirnya dua manik hitam Buki mendarat di manik Yunseong dengan tatapan heran.
“Lamunin apa?”
Buki hanya menggeleng pelan melanjutkan acara beres-beres kamar kosnya.
“Ada yang lagi Buki khawatirin?”
Kala pertanyaan itu mengudara, Buki hanya menghela napas keras. Yunseong membiarkan semua urusan selesai lalu duduk di kursi meja belajar Buki. Buki mengikuti dengan duduk di kasur kamarnya.
“Peutti dulu pertama kali magang, rasanya gimana?”
Sembari memiringkan kepalanya dengan senyum mengertinya—sedikit paham yang mungkin ada di kepala Buki saat dia tenggelam dalam lamunannya sendiri. Yunseong memutar ulang waktu itu, sekitar 2 tahun lalu mungkin, saat dia harus berada dalam keadaan LDR dengan Buki yang masih kuliah untuk masa magangnya.
“Hmm.. kok aku lupa ya. Buki inget ga dulu Peutti gimana?”
“Apa ya eum.. Buki merasa Peutti ga berubah, cuma lebih slow respon aja. Dulu kan Peutti masih semangat banget ngerayu Buki karena Buki gampang insecure,”
Yunseong mengangguk, di kepalanya kini lewat kereta kenangan saat dia masih magang di kota berjarak 2 jam dari lokasi saat ini. Ia tersenyum bangga telah melewatinya dengan baik meski cukup menjadi tantangan saat dia berusaha menjalani survival mode-nya menjadi perantau sambil terus merangkul Buki yang tak ingin Ia lepas keberadaannya dari hidupnya.
“Bener juga. Cuma slow responnya ga kerasa di aku, mungkin karena masih adaptasi, ya? Tapi overall, ga seburuk yang aku bayangkan,”
Anggukan pelan Yunseong kini ditiru Buki bagai anak batita yang belajar meniru dari orang tuanya. Sisi beruntung bagi Buki karena bisa magang di kota yang sama dengan kosnya. Bagaimanapun, seorang manusia juga berhak merasa khawatir.
“Kenapa ya, Buki ga suka tinggal satu rumah sama orang—bahkan keluarga sendiri? Tapi di saat yang sama, Buki sering ngerasa kesepian dan ga punya rumah,”
“Rumah apa nih? Rumah buat cerita, atau rumah untuk bersinggah?”
Meskipun Yunseong bingung dengan peralihan topik yang cukup berbeda ini, Ia mencoba mencari tahu apa yang sedari tadi Buki khawatirkan dari pertanyaan random yang Buki lontarkan. Kala itu kedua pupil Buki bergetar sambil menatap wajah Yunseong yang mengharapkan Buki untuk bercerita.
“Rumah..”
“Buki butuh rumah yang seperti apa? Ruangan? Hobi? Atau.. manusia?”
Buki mengigit bibirnya, mulai memikirkan apa yang sebenarnya Buki butuhkan di tengah khawatirnya. Kalau boleh jujur, Yunseong agak sedikit sakit hati—sering terjadi, tapi beberapa kali dia biarkan hal ini ada dalam hatinya tanpa perlu dia utarakan saat itu juga.
Yunseong merasa selalu berusaha menjadi rumah bagi Buki. Ah, tidak, ekspektasiku mungkin sedang menang. Sekali lagi pelajaran untuk Yunseong untuk merendahkan ekspektasi pada manusia.
“Iya, mungkin aku butuh rumah yang bisa nemenin Buki pas magang nanti..”
“I'll ask once again kayak waktu pertama kali kita bareng-bareng,
...
Is it okay for me to be that home, your diary home, please?”
Yunseong mengulurkan telapak tangannya, berharap permintaannya diterima Buki. Tangan yang ingin memastikan terus bisa memenuhi tempat yang bisa dipercaya Buki di tengah rasa keraguan dan ketidakamanan yang dirasakan.
“Kalau Buki mengizinkan, don't worry, you can always count on me. Yunseong, kan, selalu punya Buki,”
Tangan Buki yang mulai memeluk uluran tangan Yunseong membawa kedua pemiliknya mengukir senyum bagai mawar merah yang merekah di musim semi.
.
.
.
Tujuan selanjutnya adalah membuatnya merasa aman tanpa membuatnya merasa menjadi beban.
“Buki harus tau, kalau Buki itu rumah bagi Yunseong,”
“Iya, Buki tahu,”
“Hm?”
“Kata Kak Iyop, Peutti ke Buki sama ke orang lain tuh beda. Buki ngerasa juga,”
“Oh.. iya. Yang waktu itu kamu diantar Iyop dari bus,”
“Peutti, tuh, juga udah selalu jadi rumah Buki kok. Maaf ya Buki suka insecure..”
“
Harusnya aku yang insecure,”
“Heung?”
“Peutti insecure, penasaran kenapa Buki sampai beraninya selingkuh sama Joshua Suherm—”
“SEVENTEEN!!!”
●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●
“I’m the place you can come to,
You’re the place I can go to,”
—Seventeen: Home.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIARY; You Are Me, I Am You
General Fiction◇Half socmed au, half writings au. ◇Slice of life. Wonder how it feels to be Buki who have Hwang "Peutti" Yunseong as her pillar of emotion and her diary. They have always been so grateful to have each other to depend on in every ups and downs. ●●...