Buki mengetukkan jari-jari tangannya secara random di atas meja itu. Matanya menyaksikan sekeliling ruangan sambil mengamati detailnya. Sesekali menyimpulkan senyum melihat beberapa rangkaian bunga di sudut ruangan cafe itu.
“Gimana? Banyak kan, bunganya?” tanya sosok di depan Buki yang sedari tadi mengamati Buki sambil tersenyum dalam diam.
“Banget.. makasih Peuti!!” jawabnya sambil berbisik namun tak bisa menahan kekagumannya pada ruangan cafe penuh dekorasi bunga yang menyejukkan pandangannya. Buki menyatukan kedua tanyannya ya di samping wajahnya.
Senyuman pria itu merekah selebar-lebarnya. Seakan kedua ujungnya sudah menyentuh kedua telinganya. Dalam diam, dia bernapas lega.
“I know right~” ujar Yunseong meletakkan salah satu telapak tangannya di bawah dagunya.
“Haha udah yakin banget ya aku bakal suka tempat ini? Well ya kamu berhasil!” Buki menyalin pose Yunseong saat itu “kok bisa kamu yakin kalau aku bakal suka?”
Pertanyaan random Buki, sekali lagi mengusik pikiran Yunseong. Terkadang dia menanggapi dengan bercanda agar bisa mencairkan suasana, atau juga menanggapinya dengan pilihan kata yang akan Buki interpretasikan sebagai deep talk. Kali ini, dia bingung memilih antara keduanya.
“Ya karena Yunseong yakin Buki suka. Buki kan suka bunga” jawabnya, simpel.
“Oooh..”
Kriiing
Wireless calling system cafe itu menggetarkan meja yang menjadi tumpuan kedua siku kedua insan yang sedang saling mendalami mata satu sama lain. Sontak keduanya menyetop bertopang dagu, beralih menatap benda yang bergetar itu. Sepersekon setelahnya Buki langsung mengangkat wajahnya menatap yunseong yang mengambil alat itu sambil bersiap berdiri.
“Aku ambil pesanannya dulu ya, Buki”
.
.
.
langkah kaki yunseong melambat, di kala kedua matanya melihat sosok dengan aura yang mulai meredup, menatapi jendela transparan di sebelah meja yang menjadi topangan tangannya. ia sedang meratapi buah tangan Tuhan berupa pemandangan alam hijau. yunseong mafhum bahwa kesayangannya itu sedang tenggelam dalam pikirannya. mencoba memberikan beberapa detik lagi untuknya—sehingga tak menjadikan distraksi di pikirannya. Yunseong menatap dua gelas kertas di tangannya—memastikan minuman itu masih aman—, dan mulai berjalan secara normal ke meja itu.
“mikirin apa?” tanya Yunseong sambil memberikan gelas di tangan kanannya pada kesayangannya.
“kamu”
“oh.. dah jago ya.”
Buki hanya terkekeh pelan sambil menunggu Yunseong-nya duduk di depannya.
..
“emang kamu yakin dengan cara apa?” tanya Buki, tiba-tiba, setelah meneguk sekali minumannya.
Yunseong mengedipkan matanya berkali-kali sambil menyelesaikan minumnya, “tentang tadi? milih cafe ini?”
Buki menggigit sebentar bibir bawahnya, “apapun. gimana caranya Yunseong yakin?”
Yunseong mengambil napas panjang dan menghembuskan pelan sambil merajut senyum teduh untuk kesayangannya.
“Untuk kali ini, dia datang dari diriku sendiri”
“gak ragu sedikitpun..?”
“engga"
Buki mengangguk pelan sambil memutarkan matanya ke samping kanan dan kiri. akhirnya kontak itu berakhir di mata Yunseong, “okey”
“Hmm.. I said, untuk kali ini. aku juga sering meragu sebelum yakin pada suatu hal. dan pada akhirnya aku bisa yakin, kalau semua akan berjalan baik. contohnya, saat aku membersamai kamu.”
“about ours?”
“ya, mungkin kamu akan sedikit marah dengar ini? haha. tapi aku juga pernah ragu untuk menjaga kamu. and then, aku mulai meyakinkan diriku sendiri, pasti ada cara. and see? Tiga tahun berjalan kita masih bareng-bareng for our ups and downs. eum.. ya jadi... ragu itu wajar”
“ouh.. keren banget peutti bisa ngeyakinin diri sendiri” ucap Buki pelan sambil mencoba tersenyum di tengah rasa berat hatinya menyadari, bahwa rasa yakin itu se-esensial itu, namun dia selalu gagal meyakini dirinya sendiri.
“hey.. aku ga bilang yakin itu harus diyakinin sama diri sendiri aja loh..” Yunseong pelan-pelan meraih tangan Buki yang masih menggenggam erat gelasnya. Yunseong mengambil napas pelan, merasakan tangan dingin buki sambil meyakinkan bahwa buki akan baik-baik saja.
“step one, aku emang harus meyakini diriku sendiri. but if i failed, i need someone's help. and if i think they helped me enough, aku kembali lagi kepada diriku sendiri, untuk meyakinkan diriku. that's how sense of confident works for me”
Yunseong memiringkan kepalanya sambil condong ke bawah, melihat wajah yang kini lebih redup dari sebelumnya—entah karena pembahasannya, atau karena jawabannya.
“Buki?”
“eum?”
“Buki, kamu sekarang pasti ngerasa gagal karena gapernah yakin sama diri sendiri, yah?”
“Peramal”
“Bukan, haha”
“Ya tapi kamu sok tau”
“Faktanya?”
Buki perlahan mempertemukan tatapan matanya pada Yunseong,
“Bener sih”
Yunseong tersenyum—lebih kepada tersenyum lega, karena dugaannya benar.
“makasih untuk buki yang udah mencoba jujur dengan dirinya sendiri” akhir kalimatnya, membawa tangan Yunseong mengusap poni kesayangan Buki sejenak—karena itu rambut terdekat yang bisa digapainya.
“yaaa.. gapapa buki. Yunseong selalu bilang, bukan? kamu butuh diyakinin dulu untuk bisa yakin sama diri sendiri. Ga masalah. Ga semua org bisa yakin dengan dirinya sendiri. Makanya ada Yunseong di sini” kala kata terakhir diucapkan, Yunseong kembali melukis senyum yang paling teduh—favorit Buki. tangannya kembali pada sebuah rajutan semu bersama tangan Buki.
“makasih..”
“Buki, kamu mau tau yang lebih buruk, ga?”
“Apa?”
“Ketika kamu ga ngasih kesempatan dirimu sendiri untuk yakin. That's even worse"
Buki menjawab senyuman Yunseong dengan matanya yang mulai berbinar—oleh air matanya yang tertahan dalam diam.
“Aku bersyukur punya yunseong.”
“Aku juga bersyukur punya buki.”
KAMU SEDANG MEMBACA
DIARY; You Are Me, I Am You
Beletrie◇Half socmed au, half writings au. ◇Slice of life. Wonder how it feels to be Buki who have Hwang "Peutti" Yunseong as her pillar of emotion and her diary. They have always been so grateful to have each other to depend on in every ups and downs. ●●...