glad to meet you (3)

2 1 0
                                    

—Love for imperfection.

akan selalu ada alasan pada setiap orang yang kita temui. untuk dirimu, untuk dirinya

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

"Yunseong.."

"Hm?"

"Aku belajar kalau pengontrol emosi manusia tuh ada di otak. Tapi..-
-Kenapa yang sakit dadaku?"

Adalah salah satu pertanyaan acak yang selalu keluar dari mulut buki, seolah selalu jadi bahan kuis bagi hidup yunseong. Lelaki itu banyak belajar bahwa wanita ini punya segudang tanya yang tak pernah ia bosan tuk menjawab. brain storming, deep talk atau apapun itu, tak ada kalimat protes keluar dari mulut yunseong kalau buki sudah memulai ini.

"Sama kayak yang pertama kali kamu rasakan waktu aku melakukan ini."

Yunseong menjeda kalimatnya. Memindahkan atensi dua pasang mata yang sedang memandang matahari yang bersiap istirahat meski ia telah berjuang keras menghangatkan bumi di musim gugur ini. Kini tatapan mereka ada di sana-di sebuah rajutan yang dibuat oleh 2 tangan dengan jari yang mengisi kekosongan satu sama lain.

Seusai beberapa detik dalam atensi itu, ibu jari yunseong mengusap pelan punggung tangan buki, tanpa melepas rajutannya.

"Napasmu berhenti, jantungmu seperti ingin copot, pandanganmu terkunci pada satu titik, lupa berkedip, sekujur tubuhmu kesemutan. Masih ingat, cerita di chat kakaotalk waktu itu, kan?
Apa lagi yang kurang? --ehm apapun itu, ini sama saja. Seperti sekarang, tanganku di tanganmu, tapi efeknya ga di tangan"

kagum
yang selalu ada di pikiran buki. Bahkan semenjak hari itu, hari di mana tangannya sekosong gelas kaca-hampa dan mudah rapuh. Tangan yunseong adalah satu-satunya air yang selalu bisa mengikuti wadahnya; berhari-hari yunseong menggenggam tangannya, memeluknya, menjadikan bahunya senderan buki. Meskipun tak langsung jadi, karena beberapa kali airnya tumpah, yunseong pernah tak lengah.

Bagi yunseong, menjadi biasa adalah kuncinya. Kalau yunseong berhenti saat tumpahnya, tak akan ada adegan hari ini; buki yang menyandar di tempat kesayangannya, bahu yunseong, sambil menikmati detik-detik terakhir cahaya matahari menyinari bumi hari ini.

"Gak bermaksud membuatnya sama, tapi kerja otak kita sehebat itu buki. Kamu ga perlu mempertanyakan kenapa. Itu kehendak tubuhmu. Kenalilah, karena mereka yang menjagamu, bukan aku"

Buki belajar dari yunseong, bahwa tak semua hal di dunia ini seperti hujan, yang ketika ia selesai dengan tugasnya, maka tamat pula urusannya. Yunseong adalah matahari; yang terus menerangi bumi di tengah hujan deras, bahkan ketika ia istirahat, besok bumi akan melihatnya kembali, dengan hal yang sama; mendukung bumi.

Menyadari dirinya selalu mempertanyakan ulang kehidupan, napasnya terhentak sedetik. Tangan buki yang menganggur bergabung bersama rajutan tangan itu, sejenak menghentikan elusan yunseong

"Maaf"

"Buat?"

"Buki aneh lagi.."

Senjata makan tuan. Jantung buki seolah teriris oleh kata-katanya sendiri. Buki sejujurnya juga lelah dengan dirinya; hanya bisa merengek pada yunseong, dan selalu menjadi api yang mencari pertolongan. Aku tarik kembali kata-kata tadi . Buki mungkin bukan gelas kaca yg kosong, tapi adalah kayu kering yang mudah tersulut oleh api emosinya sendiri.

"Engga, buki"

"Aku ngerepotin lagi"

"Engga, buki"

"Aku ga- "

"Engga sayangku, buki. Kamu itu indah"

Tepat saat itu, buki memejamkan matanya. Sudah tak kuasa lagi menampung air mata di pelupuknya. Napasnya terhembus panjang, namun penuh getaran. Genggaman tangan buki jadi lebih erat-yang kemudian jadi atensi bagi yunseong. Tangan yunseong yg menganggur meraih pipi itu, yang suhunya semakin rendah di hujani air mata pemiliknya. Jempolnya mengusap pelan, memastikan pipi buki hangat oleh tangannya-meski bukan juga tangan bersuhu normal, karena suasana dingin malam itu. Ya, hari kini berganti malam dan buki masih gagal mengatasi dirinya.

DIARY; You Are Me, I Am YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang