nol desiBel

1 1 0
                                    


“Terima kasih” ucap Yunseong menerima es serut vanilla ukuran besar yang dipesan.

Kali ini Yunseong duduk ditempat duduk untuk empat orang di sebuah toko es krim, namun hanya bersama buki dihadapannya. Melihat buki yang tidak merespon sama sekali dengan kedatangan es krimnya, Yunseong mengetuk meja sambil menyesuaikan mangkuk es krim agar tepat berada di tengah—untuk dinikmati bersama.

“Hey, melamunnya lanjut nanti ya. Kita abisin dulu eskrimnya”

Buki yang masih menatap bebas meja di depannya tanpa arah, mulai menatap tumpukan es serut yang menjulang cukup tinggi dibalur susu kental manis vanilla kesukaannya. Menghela napas berat, buki lalu mengambil sendok es krimnya.

Yunseong yang sudah melahap 1 suapan, tersenyum simpul dengan tingkah buki—hanya mengaduk-aduk es serut tanpa arah—tapi tidak juga memasukkan sedikitpun bulir es ke dalam mulutnya.

“Gamau? Jadi aku abisin sendiri lagi, nih?” tanya yunseong dengan senyum nakalnya.

“Well.. haha okay” Yunseong mencondongkan mangkuk esnya lebih mendekat ke tubuhnya. Sendok buki sudah tertancap kuat di antara serutan esnya—seakan jadi topping baru di mangkuk itu. Sepersekon setelahnya, yunseong mengambil sendok yang tadi dipegang buki, mengambil es serut setengah sendok, dan mengarahkannya ke mulut buki.

“Bilang aja mau disuapin. Iya kan? Aaaaa”

Belum juga ada respon dari buki yang tangannya sudah bertopang dibawah dagunya sambil menyaksikan tontonan favoritnya—melihat yunseong makan.

“Ih ih ini es nya meleleh mau jatuh, loh!! Nanti kalau ga..”

Detik itu juga, buki langsung melahap es yang disendoki yunseong. Dalam diam, yunseong terkekeh kecil. Mulai paham dengan maksud buki yang membisu sejak turun dari motor sampai detik dia menyuapi sesendok es krim itu.

“Oke lah. Tiap aku makan satu suap, kamu ku suapin satu juga ya”

Yunseong tidak begitu kesal karena respon buki yang hanya diam menatap nasib pilu seonggok es serut di hadapan mereka. Yunseong kadang terkekeh dengan tingkah lucunya ini. Tapi di sisi lain, ada sedikit kekhawatiran yang mulai menyentuh hati yunseong melihat buki yang matanya mulai berkaca-kaca sembari yunseong suapi es krim.

“Udah lama sih, aku didiemin kamu sampe segininya. Terakhir kapan ya? Kayaknya tahun lalu deh pas kamu habis semesteran juga.. eh btw ini kamu udah gamau lagi? Soalnya harus disruput ini mah es nya..”

Masih dalam bisunya, buki menggeleng pelan tanpa ekspresi menjawab ocehan yunseong.

“Okay, ku habisin ya. You ate well, good girl” sepersekon setelahnya, yunseong merampungkan semua isi dalam mangkuk itu. Yunseong sedikit membereskan apa yang ada di meja itu, dan meminggirkan mangkuk tadi agar tidak ada penghalang di antara hadapan mereka.

“Buki?” Yunseong mengarahkan matanya agar sejajar dengan mata buki yang sedang menatap jauh ke arah pemandangan di belakang yunseong. Tempat duduk mereka ad di balkon lantai 2, out door, paling pojok di toko itu. Tepat di belakang yunseong, ada pemandangan alam yang cukup luas dan menyegarkan mata.

Sesaat yunseong tau mata buki sudah menatap matanya, “aku bersyukur banget masih bisa nemenin kamu sampe sekarang. Tau kenapa?”

Masih belum direspon buki, yunseong melanjutkan self-talk nya sambil terkekeh pelan,

“karena aku gabakal marah kalaupun kamu diemin aku tanpa alesan gini. Aku beneran gatau kamu kenapa, tapi aku seneng aja nemenin kamu yang lagi pengen membisu 0 desiBel sama aku. Kamu tau sendiri kan, aku juga suka monologue ke kamu to make me better?”

Yunseong mulai menopangkan dagunya pada salah satu tangannya, mengikuti pose yang sejak tadi buki lakukan, agar matanya lebih sejajar lagi dengan buki,

“bingung juga sih mau ngira-ngira apaan ke kamu. Kalau dulu sih ya.. kamu gini karena marah sama aku. Tapi juga ujung-ujungnya kamu tetep nempel sama aku seharian? Hehe”

Buki mulai memutar bola matanya tak terarah, kemudian berhenti seketika yunseong melanjutkan ocehannya,

“kalau sekarang, yang kutau, kamu bukan marah karena aku. Mungkin aku sok tau juga, but it shows. Mata kamu ga tentu arah dan ga fokus hari ini. Kalau kamu marah sama aku, biasanya kamu udah kayak stalker aku deh natap aku seharian pake tatapan sinis sampe mampus. Tapi ini.. engga? Aku gatau ini marah jenis apa, tapi aku bener-bener berharap sekarang kamu ga lagi marah sama dirimu sendiri.. lagi”

Hanya dengan itu, yunseong bisa menyalurkan kekhawatirannya. Terakhir yunseong bersama buki—sekitar 1 minggu lalu—ada hal yang sedang mengganggu buki hari itu. Dan hal itu adalah diri buki sendiri.

Yunseong juga manusia. Seminggu lalu, dia hanya bisa menenangkan buki seadanya karena masih sibuk dengan kelulusannya. Buki, sejujurnya, sangat memaklumi jadwal yunseong. Buki sendiri berharap ingin bisa mengatasi semua sendirian. Buki selalu mencoba meyakinkan yunseong, untuk tidak apa jika belum sempat menyiapkan quality time bersamanya. Buki selalu berusaha melakukan self-healing di tengah waktu itu.

Entah bagian mana yang membuat buki runtuh dalam pertahanannya, tapi bangunan buki benar-benar runtuh. Ia tenggelamkan seluruh wajahnya di dalam kedua lengannya di atas meja itu. Diam-diam, ada air keluar di sela-sela lengan itu. Benar-benar tanpa suara, membisu. Seakan hanya beberapa makhluk hidup saja yang bisa mendengarkan isak bisu tangisan buki.

“Hey, nangisnya jangan ikutan mode diem juga dong. Gapapa kalau mau nangis keras” bisik yunseong, sambil memindahkan dirinya. Memposisikan diri di sebelah buki. Kini mereka duduk bersampingan, dengan hadapan mereka adalah alam luas—pelanggan di sana hanya menatap mereka dari belakang saja.

“It's okay. Semua aman sama aku. Gausa peduliin yang ada di sini. Anggap aja sekarang cuma ada aku dan kamu di sini” yunseong juga menempelkan kepalanya di atas meja, benar-benar ingin menyejajarkan kedua matanya pada mata buki.

Meski sekarang mata buki sedang di dalam pelukan lengannya sendiri, tapi dia berusaha mencari setinggi apa level matanya. Yunseong sedang menyamankan diri, memposisikan kepalanya menghadap buki sambil menyenderkan kepala di meja itu.

“Maaf ya, kata-kataku tadi ada yang bikin kamu sakit hatu.. tapi semoga dengan kamu nangisin gini, semua jadi lega” bisiknya kembali, sambil menyeka lembut helaian rambut buki.

Sekarang semua benar benar nol desiBel. Sebagai bentuk menghargai, yunseong tidak ingin melanjutkan monologue nya dahulu sampai buki puas dengan tangisannya. Bahkan buki, yang tak bisa sedikitpun menahan tangisnya, kini hanya bisa mengucurkan seluruh air matanya dalam mode bisu.

Mungkin, sekali-sekali dunia hanya butuh diam sejenak. Diam sejenak di tengah keributan pikiran yang ada dalam kepala. Semua juga tau, dunia tidak bisa kita kontrol sendirian, maka sudah saatnya fokus pada diri sendiri yang lebih bisa dikontrol.

Marah tidak selalu berkonotasi negatif. Bahagia juga tak selalu berkonotasi positif. Semua tergantung bagaimana akal dan pikiran kita mengontrol semua perasaan yang hadir. Jika memang menjadi nol desiBel adalah solusi tercepat, maka gunakanlah sekarang seperti sebuah kartu As. Ketika permainan berakhir, saatnya menuntaskan semua kebisuan tadi agar dunia tak salah sangka pada perjuangan kita menghadapi emosi dalam diri sendiri.

.

.

.

“Mau istirahat di kos atau mampir pantai dulu?”

“Pantai.. please?”

“Okay, tapi udah ga nol desiBel lagi kan nanti di pantai?”

“Mmmm~ i dunno hehe”

“Nakal lagi sama aku, kutinggal di pantai” ucap yunseong sambil mencubit pipi merah buki.

DIARY; You Are Me, I Am YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang