Menghadapi Takdir

501 137 153
                                    

Harusnya aku update cerita lain tapi—dahlah ayo kita tamatkan segera 😭👍

Dua chapter lalu lebih fokus ke Jun, kemarin agak netral, nah sekarang giliran Jeonghan biar adil. Siap?


Note: sumpah ini panjang banget 3000+ kata sampe keyboard hp-ku error dan harus restart 🤣🤣🤣


Happy reading!^^



~°~°~



Ada satu alasan mengapa pria berambut pirang itu tak melawan.

Jeonghan bisa melihat air mata Jun dengan jelas. Tetesan-tetesan bening itu membuatnya sadar betapa pantasnya ia mendapatkan pukulan-pukulan itu. Dan betapa kurang ajarnya apabila ia mendaratkan pukulan di wajah Jun.

Setiap pukulan yang ia terima memupuk amarahnya. Di satu titik, Jeonghan sigap menahan dan benar-benar berniat untuk memberi balasan. Namun lagi-lagi ia melihat wajah Jun, menyadari betapa banyak air matanya, dan merasakan seberapa besar amarah yang dipendamnya.

Jeonghan memang kurang ajar. Jun bukan hanya melihatnya sebagai pria brengsek yang menyakiti Jung (Y/n). Namun Jun juga melihatnya sebagai bajingan yang berani menyentuh Shin Minri bahkan setelah tahu traumanya di masa lalu. Dan Jeonghan sadar betul ia pantas mendapatkannya.

Jeonghan menarik napas panjang setelah luka-lukanya diobati. Pipi dan dahinya lebam, namun tak begitu bengkak karena langsung diobati. Hidung dan bibirnya berdarah cukup banyak. Bernapas rasanya pedih. Bergerak sedikit saja rasa-rasanya bibir Jeonghan bisa robek. Yang paling parah, luka jahitnya kembali berdarah. Beruntung tak terlalu parah sehingga tak perlu dijahit ulang.

Setelah dokter dan perawat meninggalkannya, Jeonghan melamun. Matanya fokus pada langit-langit rumah sakit tanpa peduli pada lampu yang menyilaukan mata. Jeonghan tidak tahu apa yang dirasakannya. Seluruh luka, termasuk luka hatinya terasa kebas.

Haruskah Jeonghan menangis?

Pantaskah ia meminta maaf?

Jeonghan tidak tahu. Dan ketidaktahuan itu terasa membunuhnya perlahan-lahan.



Tap Tap Tap


Suara langkah kaki terdengar mendekat. Dalam beberapa detik, tirai di sekeliling ranjang Jeonghan terbuka. Menampakkan wajah dua orang paling familiar yang bisa ia temukan di Gimpo.

Eomma .... Appa ....”


Plak!


Bukan sebuah pelukan, bukan ketenangan, yang ia dapatkan justru tamparan keras di pipi kirinya. Selama tiga puluh tahun hidup tak pernah satu kali pun ia mendapat hukuman fisik dari sang ayah. Senakal apa pun Jeonghan, semarah apa pun sang ayah, tak pernah berujung dengan kontak fisik seperti itu.

Namun kali ini berbeda. Tanpa bicara sepatah kata pun tamparan ia dapatkan. Padahal wajahnya sudah tak berbentuk seperti itu. Tapi tetap tak menghentikan ayahnya.

Tandanya amarah sang ayah sudah berada di level berbeda, kan?

Jeonghan semakin sadar bahwa dirinya hanya sampah. Ia pikir selama ini kerja kerasnya berguna untuk banyak orang. Ternyata ia hanya berguna bagi dirinya sendiri. Dan menjadi duri bagi orang lain.

Khianat [Seventeen Imagine Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang