Senja yang Dikagumi

1.2K 249 34
                                    

I'm back ❤️


Happy reading!^^



~°~°~



Langit senja memanjakan mata pria itu begitu ia mendongak. Matanya yang kecokelatan tampak bersinar. Kedua sudut bibirnya mengulas sebuah senyuman yang manis. Ahh, pria itu selalu menyukai senja. Ia tak pernah membuat perasaan pria itu memburuk, justru selalu membaik. Setiap penat yang ia rasakan ketika berada di tempat kerja pasti sirna ketika matanya melihat senja.

“Bukankah sangat indah?” Ia segera menoleh ketika mendengar suara lembut seorang wanita. Dilihatnya wanita dengan topi baret pink pastel duduk di sampingnya. Matanya mengarah pada langit.

Pria itu, Yoon Jeonghan, tersenyum. Ia selalu senang bila menemukan orang yang menyukai senja. “Ya, selalu indah di mataku.”

“Itulah kenapa aku tak pernah bosan melukis senja. Mungkin orang-orang sudah bosan melihatnya di galeriku.” Wanita itu tersenyum tipis. Ia menyesap kopi di tangannya perlahan sementara Jeonghan menghadapkan tubuh ke arahnya.

“Kau suka melukis?” tanya Jeonghan terkejut. Pasalnya, ia sudah hampir tujuh jam berkeliling kota dengan wanita itu atas perintah sang ayah. Namun sejak awal keduanya tak pernah membicarakan hal-hal pribadi. Hanya minum kopi dan membicarakan hal umum.

Wanita itu tersenyum. Kali ini senyumannya tampak sangat berarti. Seolah menyiratkan banyak hal yang tak ia utarakan lewat kata. “Profesiku, lebih tepatnya.”

“Ohh ... aku tak menduga seorang anak pengusaha akan memilih jalan yang sangat jauh dari bisnis. Meski itu sebuah profesi, kau pasti melakukannya untuk kesenanganmu, bukan karena bisnis.”

Wanita itu, Shin Minri, terkekeh pelan. “Kenapa kau berpikir begitu?”

“Karena aku belum pernah mendengar seorang pelukis bicara bahwa ia melukis untuk mendapat banyak uang,” sahut Jeonghan, “meski mereka melelang lukisannya. Niat awal mereka untuk melukis pasti karena diri mereka ingin mengekspresikan diri, kan?”

“Sepertinya kau tahu banyak,” sahut Minri dengan senyuman lebar.

Jeonghan terkekeh pelan, tangannya menggaruk tengkuk. “Aku tertarik dengan seni, tapi aku tidak punya bakat seni jadi aku hanya menikmatinya.”

“Kau mau melihat galeriku?” tawar Minri. “Tempatnya tak jauh dari sini.”

“Bukankah kau harus pulang?”

“Tidak papa, kok. Sedikit terlambat untuk pulang itu tidak masalah. Yang penting aku sudah makan.”

Jeonghan mengangguk pelan. “Baiklah, sekalian makan malam kalau begitu. Aku akan mengantarmu pulang nanti.”

Minri tersenyum. Wanita itu kemudian beranjak dan melangkah menuju mobil Jeonghan yang terparkir di depan sebuah toko, tepatnya di seberang taman.

Jeonghan ikut beranjak. Karena tak hati-hati, ponselnya jatuh dari saku mantel yang ia sampirkan di lengan.

“Woah, jinjja,” keluhnya. Ia bergegas mengambil ponselnya. Ia membuka layar kuncinya untuk memeriksa keadaan ponselnya. Namun, ia malah dibuat membulatkan mata karena mendapati banyak pesan dan telepon masuk tanpa ia sadari.

Bodoh, pasti mengaktifkan mode diam lagi.

Jeonghan segera memeriksa pesan dari sang istri yang menanyakan keberadaannya. Tanpa menunggu, ia melakukan panggilan telepon.


“Oppa, kau di mana? Aku menunggumu sejak tadi, kenapa kau tidak bilang kalau keluar rumah? Aku sudah-”

“Ohh, mianhae,” ucapnya cepat-cepat sebelum istrinya marah. Bodoh, ia lupa mengabari istrinya karena terburu-buru ke kantor pagi tadi. “Aku terburu-buru ke kantor, ada masalah dengan kontrak perusahaan dan aku dipanggil karena bertanggung jawab atas itu.”

Khianat [Seventeen Imagine Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang