[5] Broke Up

4.1K 378 14
                                    

Seketika aku langsung memeluknya. Entah kenapa aku sangat merindukannya. Ia terlihat kaget tapi langsung membalas pelukanku.

"Kau baik-baik saja?" Ia mengelus punggungku.

"Yaa. Maafkan aku, Harry, aku hanya.."

"Aku juga merindukanmu,"

Aku membuka kacamataku dan mengelap air mataku. "Aku sangat menunggu hari ini datang. Dimana aku dan kau bisa kembali berbincang dan bergurau,"

Harry menatapku lama. Aku jadi seperti sedang bermain tatap-tatapan dengannya. "Kau masih menggunakan kacamata itu?"

Aku mengangguk, lalu membetulkan posisi kacamata warna merah mudaku. Aku sebenarnya tidak auka kalau ada orang menyinggungku tentang kacamataku. Apalagi jika Harry yang mengatakannya.

"Kenapa kau tidak pakai kontak lensa?"

Lagi. Semua orang yang menyinggung kacamataku, pasti bertanya kenapa aku tidak menggunakan kontak lensa. Aku mengabaikan pertanyaan Harry yang sudah ia tanyakan ratusan kali tiap kami bertemu.

"Kau lebih cantik kalau menggunakan kontak lensa. Tapi yang bening,"

Hal ketiga yang orang katakan karena aku berkacamata. Kau lebih cantik kalau menggunakan kontak lensa.

Harry bisakah kau tidak membahasnya? "Sudahlah, Harry,"

Harry terdengar kaget mendengar jawabanku. "Maafkan aku, Candice, aku..."

"Aku tidak mau membahasnya,"

Aku kembali duduk di kursi dan membetulkan bajuku. Aku mengabaikan wajah Harry yang terus-terusan memperhatikanku. Aku melihat matanya terus menatapku tapi aku tidak berani melihatnya.

"Kita jalan-jalan yuk. Sudah lama kita tidak jalan berdua," ia menarik tanganku yang sontak membuatku menatap matanya. Aku tersenyum. "Kau tahu, Candice? Aku sangaaaaaaat merindukanmu,"

"Aku juga,"

Harry menunjuk ke toko kacamata. "Kesana yuk. Mungkin ada kacamata lucu untukmu?"

Aku menggeleng. "Harry! Umurku sudah 18 tahun,"

"Tapi kau akan selalu menjadi adik kecilku yang lucu dan manis," ia menyenggol daguku. Pipiku memerah mendengar pujiannya. "Ayolah. Aku juga ingin barangku kau pakai,"

Aku akhirnya menurut dan mengikuti Harry ke toko kacamata itu. Tapi belum sampai Harry membuka pintu, aku melihat di dalam, sosok orang yang sangat ku kenal sedang berdua dengan perempuan lain.

Rifaldy dan Olivia.

Aku langsung mundur dan refleks melepas genggaman Harry. Aku menutupi mulutku dengan kedua tanganku. Harry terlihat kaget dengan reaksiku.

"Kau baik-baik saja?" Harry menghampiriku. Aku merasa air mata mengalir di pipiku. Jadi, perkataan Liz benar? "Candice! Kau menakutkanku! Ada apa?" Harry mengguncang tubuhku.

"Ri,Rifaldy.. itu.. Olivia," aku gagu menjawab Harry. Aku menunjuk ke arah toko kacamata dan Harry menengok ke arahnya. Hanya ada 2 remaja seumuranku disana. Dan Harry menunjuk ke arah laki laki berkaus hitam itu yang merupakan Rifaldy. Aku mengambil kacamataku dan meletakkannya di kantung celanaku. Aku menutup mataku dengan tanganku dan mulai menangis. Aku merasa pipiku merah karena panas dan marah pada Rifaldy. Setega itukah ia padaku? Kenapa ia tidak meminta putus saja tapi melainkan langsung dengan perempuan lain?

Harry memelukku erat. Tangisku semakin kencang saat Harry memelukku. Setelah 1 tahun kami hanya bertemu via skype dan videocall, Harry akhirnya memelukku. Aku melingkarkan tanganku di pinggulnya sambil meluapkan segala emosiku. Emosi senang karena bisa kembali dipeluk Harry, juga kesal, sedih, dan marah karena melihat Rifaldy jalan dengan Olivia.

Harry tiba-tiba melepasnya dan masuk ke optik kacamata itu. Tangan kanannya terkepal dan sebelum ia masuk, ia mengedipkan sebelah matanya ke arahku. Ia menyuruh Rifaldy dengan sopan untuk keluar, dan sebelumnya ia menurunkan ponco jaketnya dan Rifaldy terlihat kaget lalu ia keluar bersama Harry. Di luar optik, Harry menunjuk ke arahku dan aku langsung mengelap air mataku dan melambaikan tanganku padanya. Rifaldy terlihat kaget dan matanya terbuka lebar.

Aku mendengar Harry berkata pada Rifaldy, "kau sudah menghancurkan hati adikku," lalu Harry menonjok Rifaldy. "Hubunganmu dan adikku sudah tidak ada lagi. Dan kalau kau kembali mendekati adikku, tanganku akan kembali melayang," lalu Harry menonjok Rifaldy lagi.

"Candice, tunggu, aku bisa jelaskan," Rifaldy merintih sambil mencoba berdiri.

"Maaf, Rifaldy. You got that bitch and not me," Harry tersenyum padaku dan menggandeng tanganku erat.

---

"Jadi, kau tidak jadi beli kacamata?" Harry dan aku mulai menuruni eskalator mall.

Aku mengangguk. "Mungkin lain kali?"

"Kau tahu, Candice, waktu seperti ini itu jarang bisa kita dapatkan. Terlebih lagi..."

"Aku tahu kau penyanyi terkenal, Harry. Sudahlah, jangan buatku menangis lagi,"

"Tapi kau harus tahu, aku sangat merindukanmu di tengah konser. Bahkan terkadang di backstage aku menangis mengingatmu. Dan kau juga harus tahu kalau aku sangat... sangat mencintaimu. Walau kita terkadang sulit bertemu karena kesibukan masing-masing dan juga larangan dari Chloe dan Dad. Kau harus selalu tahu bahwa kau tidak pernah hilang dari ingatanku, Candice, kau harus tahu itu," Harry menyeka air matanya dan ia merangkulku. Aku juga mulai menangis mendengar perkataannya.

"Aku juga selalu merindukanmu, Harry, bahkan di tiap tetes air mataku. Aku juga sangat mencintaimu," aku menghela napasku. "Dan soal tadi, terima kasih banyak," aku kembali mengingat kejadian tadi.

Harry tersenyum dan mengangguk. "Lain kali kalau dia macam-macam padamu, bilang padaku ya. Lagipula itu tugasku sebagai kakakmu, kan?" Aku tersenyum.

Tiba-tiba handphoneku bergetar. Aku melirik ke arah Harry dan melihat nama penelepon. Mom is calling you.

One Direction? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang