Lama menangis tanpa sadar membuat Divia tertidur pulas dalam pelukan Alenza, dengan perlahan dan atas bantuan Dania Ibunya, Alenza berhasil membaringkan tubuh Divia diatas sofa panjang yang sedang mereka duduki.
" Divia sudah lama Ma?" Tanya Alenza dengan suara pelan karena takut mengganggu Divia yang sedang tertidur.
Sesekali Alenza membenarkan selimut yang menyelimuti tubuh Divia, keadaan Divia jauh dari kata baik-baik saja saat ini. Mata membengkak akibat terlalu lama menangis, hidung yang memerah, bahkan rambutnya terlihat acak-acakan.
" Sekitar satu jam sebelum kamu datang. Mama tadi sudah kirim pesan ke kamu, takutnya kamu lagi ada kelas makanya Mama gak telfon." Jelas Dania.
Alenza mengangguk, pesan Dania belum Alenza baca, karena Alenza yang tidak menyadarinya karena sudah terlalu lelah.
" Kamu kenapa?" Tanya Dania pada putrinya saat melihat Alenza memijat pelan keningnya.
" Kepala Alenza sedikit pusing ma." Jawab Alenza.
" Mama ambilkan makan sama Obat ya." Tawar Dania.
" Tidak usah Ma, Alenza sendiri saja yang mengambilnya di dapur." Ucap Alenza yang akan beranjak dari duduknya.
" Gak papa, biar Mama yang ambilkan buat kamu, kamu disini saja kasihan Divia sendirian." Jelas Dania yang sudah terlebih dahulu berjalan ke arah dapur.
Alenza kembali duduk pada posisinya, dengan satu tangan memijat kepalanya, dan satu tangan lagi mengusap lembut kepala Divia yang sedang tertidur.
" Mama, mama...." Ucap Divia mengigau.
" Div." Panggil Alenza.
Saat tak mendapati jawaban apapun Alenza berfikir jika Divia hanya sedang mengigau sebentar dan tertidur kembali.
" mama.... Divia ikut mama." Ucap Divia mengigau kembali, tetapi kali ini dengan air mata yang membasahi kedua pipinya.
Alenza dengan pelan membangunkan Divia dari tidurnya karena merasa tidak tega saat Divia terus saja mengigau.
" Div bangun." Panggil Alenza.
Berhasil. Alenza berhasil membangunkan Divia yang tertidur dan saat ini duduk dengan tegap, menatap linglung sekitarnya.
Divia menutupi wajah dengan kedua tangannya sembari terisak pelan, Alenza yang kelimpungan melihat Divia, akhirnya mendekatkan dirinya untuk kembali memeluk tibuh Divia.
" Divia." Panggil Alenza.
Panggilan Alenza sama sekali tidak mendapat respon apapun dari Divia, hanya isakan tangis yang Alenza denger dari Divia.
Sejujurnya Alenza sangat ingin tahu apa yang terjadi kepada sahabatnya ini. Bagaimana pun pagi tadi Divia baru saja merasa bahagia. Dan sekarang, Divia menangis dan datang kepadanya.
💙💙💙💙💙
" Mah, Arsya sudah mengatakan berulang kali kepada Mama, jangan paksa Arsya, lihat sekarang! Divia pergi dengan kesalahpahaman karena ulah Mamah." Ujar Arsya mengusap wajahnya dengan kasar.
Keadaannya saat ini sudah benar-benar berantakan, dan semua ini karena ulah undangan yang tertera namanya disana hingga membuat putrinya pergi dari villa ini.
" Mamah hanya memberikan yang terbaik untuk kamu dan juga Divia." Bantah Rani.
" Dengan menikahkan Arsya dan Viona? Sementara Arsya dan Divia sama sekali tidak menyukainya? Apa itu yang terbaik Mah?" Tanya Arsya.
Bukan hanya Rani saja yang berada di sana, tetapi juga ada Viona dan Keluarga Zeduard Lainnya. Yaitu Kakak Arsya yang bernama Aregan Hima Zeduard bersama istrinya yang bernama Alena Putri Zeduard. Ada juga adik Arsya yang bernama Ardan dan istrinya Selina. Ayah Arsya telah tiada sejak Arsya masih duduk dibangku SMA.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Friend Is My Mama
ChickLit"Len, jadi mama gue ya." Ucap Divia dengan wajah memerah dan air mata yang sedari tadi meluruh. Sontak gadis dengan nama Alenza Putri Hartono meneguk ludahnya susah payah saat mendengar permintaan konyol sahabatnya yang sudah beberapa kali meminta A...