Alenza berjalan menaiki tangga menuju kamarnya untuk kembali menemui Divia. Setelah mendengar perkataan ibunya, Alenza seolah terdorong sesuatu untuk berjuang membuat Divia kembali ceria.
Alenza bersyukur memiliki Ibu seperti Dania, yang selalu menyemangatinya dalam hal apapun, selalu mendukungnya dalam hal positif, bahkan Dania tidak pernah marah saat Sahabatnya menginginkan dirinya sebagai ibu sambungnya.
" Divia, aku masuk ya." Ketuk Alenza pada pintu kamarnya.
Meskipun kamar itu adalah kamar miliknya, tetapi penghuni kamar itu bukan hanya dirinya saja, untuk itu Alenza mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum akhirnya masuk kedalam kamarnya.
" Div, tadi ad..... ASTAGHFIRULLAH DIVIA!!!" Pekik Alenza dengan keras.
Alenza sangat terkejut saat Divia tak sadarkan diri dilantai kamarnya, bukan hanya itu saja yang membuat Alenza Khawatir, tetapi Darah yang mengalir di pergelangan tangan Divia juga membuat Alenza sangat Syok.
Dengan sigap Alenza menghentikan darah yang masih terus bercucuran sembari berteriak meminta pertolongan. Samar-samar Alenza dapat mendengar sahabatnya yang menggumamkan kata 'mama'.
" Kenapa kak? Ada apa?" Tanya Gara yang baru saja datang dengan muka bantalnya yang terlihat jelas bahwa Gara baru bangun tidur.
" Dek cepet bawa Divia Dek!!" Seru Alenza menyadarkan Gara yang masih dengan setengah kesadarannya.
Gara terkejut saat kesadarannya sepenuhnya kembali, dengan segera mungkin Alenza dan Gara membawa Divia ke rumah sakit, meskipun Air mata telah turun tetapi Rasa khawatir Alenza lah yang sangat mendominasi nya sekarang ini. Alenza terus merapalkan doa di dalam hatinya.
Sesampainya di Rumah sakit, Dengan segera dokter serta para perawat dengan cepat melakukan pertolongan pertama mereka untuk menyelamatkan Divia dengan segera mungkin.
" Ma, Divia.." ucap Alenza lirih sembari memeluk tubuh Dania.
" Kamu tenang ya, Divia akan baik-baik saja." Ujar Dania menenangkan Alenza.
Saat Gara membawa tubuh Divia, Dania yang akan menghampiri Alenza dikamar karena mendengar Alenza yang berteriak pun ikut terkejut.
Mereka bertiga yang telah membawa Divia ke rumah sakit, tetapi saat tiba di Rumah sakit Gara pamit izin untuk pulang kerumah saat menyadari pakaiannya yang tidak beraturan karena sehabis bangun tidur.
" Bagaimana keadaan Divia?!, Dimana Dia." Seru Arsya yang baru saja tiba.
" Tenanglah Nak, Divia sedang diatasi oleh Dokter." Ucap Dania.
Alenza sama sekali tidak menatap Arsya, karena dirinya masih menenggelamkan wajahnya ke pelukan Dania.
" Bagaimana ini bisa terjadi!?!" Seru Arsya.
Alenza yang mendengar seruan Arsya membuat telinganya mendidih. Seruan Arsya membuat hatinya sensitive karena seolah disini Arsya tanpa sadar menyalahkan keluarganya.
" Om tanya kenapa ini bisa terjadi?!!" Tanya Alenza menatap Arsya dengan tatapan tak percayanya.
Wajah Alenza terlihat sangat memerah karena tangisannya. Bahkan air matanya belum juga berhenti.
" OM TANYAKAN PADA DIRI OM SENDIRI! KENAPA INI BISA TERJADI!" Seru Alenza berdiri dengan tatapan marahnya.
Dania yang melihat amarah tak terkendali Alenza, menyuruh Alenza untuk duduk kembali di kursinya.
Dania Tahu apa yang dirasakan oleh putrinya, dua hari ini cukup membuat Alenza uring-uringan sendiri, disatu sisi Alenza tidak tega melihat Sahabatnya yang sangat murung tetapi disisi lainya Alenza bahkan tidak tahu akar permasalahan yang terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Friend Is My Mama
ChickLit"Len, jadi mama gue ya." Ucap Divia dengan wajah memerah dan air mata yang sedari tadi meluruh. Sontak gadis dengan nama Alenza Putri Hartono meneguk ludahnya susah payah saat mendengar permintaan konyol sahabatnya yang sudah beberapa kali meminta A...