💙36

70.7K 6.1K 304
                                    

Semalaman Alenza tidur bersama Divia yang terus memeluknya sepanjang malam. Beruntung brankar tempat Divia dirawat cukup untuk dua orang, sehingga Alenza dan Divia dapat berkongsi tempat tidur tanpa harus berdempetan. Berbeda dengan Arsya yang tertidur di sofa panjang dengan tangan sofa sebagai bantalnya. Padahal Alenza sudah meminta Arsya untuk tidur di samping ruangan yang khusus disiapkan jika ada keluarga Zeduard dirawat, bahkan disana disediakan kasur yang cukup besar serta perabotan lainnya, tetapi Arsya menolak dan ingin tetap berada di satu ruangan dengan istri dan juga Anaknya.

Alenza perlahan melepaskan tangan Divia yang memeluknya, perutnya terasa kram saat di gerakkan, jika bukan panggilan alam yang memintanya untuk bangun, Alenza pasti sudah memastikan dirinya akan kembali terlelap dan hanya mengganti posisi tidurnya.

" Bunda jangan pergi." Ucap Divia lirih sembari mengeratkan pelukannya.

Alenza tahu Divia belum bisa tidur dengan nyenyak, setiap kali Alenza bergerak sedikit, Divia akan mengigau seperti sekarang ini. Bahkan yang membuat hati Alenza sakit adalah saat Divia mengigau kan nama Mama kandungnya yaitu Gea, hati Alenza sakit bukan karena iri melainkan karena dirinya tidak dapat menjaga Divia dengan baik, yang secara tidak langsung sudah memberikan tanggung jawabnya kepada Alenza untuk menjadi ibu sambung Divia.

" Tidur Div." Ucap Alenza sembari mengusap kepala Divia lembut.

" Jangan pergi." Lirih Divia pelan.

" Iya."

Saat Divia sudah kembali memejamkan kedua matanya, Alenza masih setia di posisinya sembari mengusap kepala Divia. Alenza yang tadinya mendapat panggilan alam, kini melupakannya saat melihat wajah Divia yang sedang memejamkan matanya.

" Sudah bangun?" Tanya Arsya dengan suara serak khas bangun tidur.

Mata tajam yang sekarang terlihat sayu dan Rambut acak-acakan Arsya setelah bangun tidur terlihat semakin menambah ketampanannya. 

" Badan Mas sakit?" Tanya Alenza saat Arsya memegang pundaknya serta meregangkan otot tubuhnya.

" Sudah biasa." Jawab Arsya disertai kekehan kecil menghampiri tempat Alenza.

Saat jaraknya sudah dekat dengan Alenza. Arsya mencuri kecupan singkat di bibir Alenza, tidak lupa menelusupkan tangannya dan mengusap perut Alenza.

" Mas belum mandi." Protes Alenza.

" Meskipun belum mandi Mas masih wangi, iya kan baby." Ucap Arsya sembari mengecup perut Alenza.

Alenza yang di perlakukan seperti itu mengulas senyum simpulnya. Hatinya menghangat seketika.

" Mau sarapan apa?" Tanya Arsya menatap kedua mata Alenza.

" Sup Iga enak Mas." Ucap Alenza.

" Iya enak." Jawab Arsya.

" Ih... Mas, Alenza gak lagi minta pendapat, tapi Alenza mau Sup Iga." Ujar Alenza dengan wajah masam.

Arsya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia kira Alenza sedang meminta pendapatnya, namun ternyata dirinya salah.

" Kamu mengidam Sup Iga?" Tanya Arsya terheran.

Kemarin Alenza juga meminta Sup Iga, dan sekarang pun sama. Arsya mengira jika Istrinya sedang mengidam.

" Gak tau Mas. Tapi Alenza dari kemarin ingin memakan Sup Iga." Jelas Alenza jujur.

" Hm. Mas akan pesan kan." Ucap Arsya seadanya dan mengecup singkat pelipis Alenza.

Sembari menunggu sarapan mereka datang, Arsya mandi terlebih dahulu di dalam kamar mandi yang terletak di dalam ruangan. Sedangkan Alenza masih berbaring di samping Divia yang tertidur memeluk perutnya, Alenza menghibur dirinya dengan mengscrol instagram miliknya yang hanya memiliki sedikit pengikut, bahkan postingan di Instagram miliknya pun tidak ada. Karena Alenza menggunakan Instagram miliknya untuk stalker siapapun yang dirinya ingin tahu, dan kebanyakan target Alenza adalah para pembalap. Mungkin jika Arsya tahu sudah pasti ponselnya akan...

My Friend Is My MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang