Tangan halus Alenza membelai lembut pipi Sang bayi yang masih terlelap dalam tidurnya, terlihat Sang bayi tidak merasa terusik sedikit pun dengan jari jemari Alenza yang sedari tadi menari membelai wajahnya.
" Faris tidurnya nyenyak banget Kak Zia, padahal Alen mau ajak main." Ucap Alenza pada Kakaknya Zia.
" Namanya juga bayi Len, kerjaannya ya tidur mulu." Jawab Zia.
Kedatangan Zia sore hari ke Mansion membuat kepulangan Divia semakin meriah. Di mansion besar Arsya, kini semua telah berkumpul.
Bahkan ada Aregan dan Alena yang juga ikut bergabung, jangan lupakan keberadaan Zerda yang saat ini merecoki Divia meskipun sudah di peringati oleh Zordan kembaran Zerda yang baru saja menyusul kembarannya untuk pulang.
" Bunnn.." panggil Divia pada Alenza dengan suara pelan.
Meskipun dengan suara pelan, namun semua atensi kini tertuju pada Divia.
" Iya Div? Kamu butuh sesuatu?" Tanya Alenza.
" Anterin Divia ke Kamar mandi boleh gak bun?" Tanya Divia.
Alenza mengangguk dan tersenyum simpul, lantas memberikan Faris kepada Zia selaku ibu kandung Faris.
" Ayo." Ucap Alenza sembari menuntun Divia dengan kehati-hatian.
Keduanya tidak luput dari pandangan seluruh keluarga yang sedang bersantai di ruang keluarga. Mereka dapat melihat betapa pengertiannya Alenza merawat Divia dengan baik, disaat kesedihannya dan kedukaannya sendiri yang belum lama ini terjadi karena kehilangan calon anaknya.
" Di kamar Divia aja ya bun." Pinta Divia.
" Kejauhan gak Div? Atau minta tolong sama Papa buat gendong kamu? Aku takut kalau kamu gak kuat jalan lama." Ujar Alenza dengan nada khawatir.
Meskipun Mansion difasilitasi lift agar tidak kesulitan untuk naik dan juga menuruni tangga, tetapi tetap saja jarak kamar Divia sangatlah jauh menurut Alenza, mengingat besarnya Mansion yang mampu menampung puluhan orang.
" Ada apa?" Tanya Arsya yang ternyata mengikuti keduanya dari belakang.
" Mas buat Alenza terkejut." Ungkap Alenza mengusap dadanya karena terkejut dengan kedatangan Arsya secara tiba-tiba.
" Maaf." Ucap Arsya sembari mengusap surai Alenza pelan.
" Ayolahh !!! Masih ada Divia disini. Divia udah gak tahan lagi mau buang air kecil." Ujar Divia memberengut saat melihat keromantisan di depannya saat ini.
" Mas, boleh minta tolong gendong Divia ke kamarnya? Alenza kasihan melihat Divia harus jalan jauh." Ucap Alenza untuk meminta tolong pada Arsya suaminya.
" Tentu." Jawab Arsya dengan senyum hangatnya.
" Gendong belakang ya pa." Request Divia dengan wajah berbinar.
Kapan lagi dirinya bisa digendong oleh papa nya, dirinya benar-benar akan memanfaatkan momen ini dengan sebaik mungkin. Bahkan Divia lupa kapan terakhir kali Divia di gendong oleh papanya.
" Ayo naik." Ucap Arsya sedikit berjongkok agar Divia mudah naik ke punggungnya.
Arsya berjalan sembari menggendong Divia dengan mudah, diikuti Alenza yang juga mengekor dari belakang. Tubuh Arsya yang tegap dan juga berotot membuat dirinya tidak kesulitan saat menggendong Putrinya.
" Habis ini Papa butuh minyak urut." Celetuk Divia sembari terkekeh geli saat mereka bertiga sudah berada di dalam Lift.
" Kamu tidak seberat itu Baby. " Timpal Arsya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Friend Is My Mama
ChickLit"Len, jadi mama gue ya." Ucap Divia dengan wajah memerah dan air mata yang sedari tadi meluruh. Sontak gadis dengan nama Alenza Putri Hartono meneguk ludahnya susah payah saat mendengar permintaan konyol sahabatnya yang sudah beberapa kali meminta A...