Allysia menginjakkan kakinya memasuki SMA Trisakti dengan ragu. Genap satu minggu dirinya tidak masuk sekolah, ia tidak ingin teman-temannya melihat luka di jidatnya dan bekas sayatan di pergelangan tangannya.
Di dalam satu minggu itu, Allysia hanya mengurung dirinya di kamar, tak mengizinkan siapapun masuk, bahkan Bi Sukma saja hanya menaruh makan untuk Allysia di depan pintu. Allysia memang menyuruh Bi Sukma dan Pak Usman berpura-pura tidak tahu mengenai keberadaan dirinya.
Nathan yang akhirnya melihat gadis itu setelah satu minggu tidak ada kabar, tidak dapat dihubungi, tidak dapat ditemui sontak langsung berlari menghampiri Allysia yang sedang berjalan di lorong kelas XI.
"Allysia!" panggil Nathan dengan nada yang khawatir pada gadis itu.
Allysia menoleh, tersenyum canggung. "Morning, Nath," sapanya kaku.
"Dari mana aja?" todong Nathan langsung.
Allysia reflek menggaruk tengkuknya yang tak gatal, ia bingung harus menjawab pertanyaan Nathan.
"Hampir setiap hari aku ke rumah kamu tapi Bibi bilang kamu nggak ada di rumah, saat aku tanya ke mana Bibi bilang nggak tau."
"Kamu sebenernya ke mana, Al? kenapa handphone kamu nggak bisa dihubungi? Kamu seolah-olah ngilang gitu aja setelah naik kemidi putar."
"Kamu bahkan nggak ngejelasin apapun ke aku kenapa kamu nangis malam itu? Kamu anggap aku apa, Al?"
"Aku mau kamu cerita apapun yang terjadi sama kamu, biar kita bisa lewatin bareng-bareng, Al."
"Kenapa kamu seenaknya nggak berangkat selama satu minggu? Emangnya kamu nggak pikirin nilai kamu, Al? sampe kapan nilai kamu merosot terus? Jangan kecewain Ayah sama Bunda yang udah sekolahin mahal-mahal."
"Kamu nggak bisa egois. Pikirin perasaan orang-orang di sekeliling kamu. Aku nggak suka kamu yang egois kayak gini, Al," titah Nathan panjang lebar. Bahkan cowok itu tak memberi Allysia kesempatan untuk berbicara dan menjelaskan sesuatu.
"Bisa pelan-pelan nggak, sih, Nath? Kamu bahkan belum dengerin penjelasan aku. Kamu malah nyerocos segala macem bilang aku egois seolah-olah kamu tau apa yang terjadi sama aku pada satu minggu itu."
"Kapan ya, kamu bisa mengerti aku, Nath?"
"Gimana kamu mau ngerti kalo kamu aja nggak terbuka sama aku, Al!" sentak Nathan kehilangan kontrolnya.
"Emang kamunya terbuka sama aku, hah?!"
"Kalo emang terbuka, coba sekarang kamu jelasin kenapa sampe gendong Shela ke UKS? Coba sekarang jelasin kenapa sering pulang bareng Shela? Jelasin coba sekarang!" sentak Allysia tak terima Nathan membentaknya.
"Aku selalu coba ngerti kamu, Nath. Karena kamu dan Shela satu kelas. Aku coba selalu beri kamu kesempatan, beri kamu waktu untuk jelasin semuanya, aku nggak pernah kan nuntut minta penjelasan?!"
"Tapi sekarang kamu apa? Aku bahkan baru ketemu kamu dan mau jelasin tapi kamu nggak ngasih kesempatan dan marah-marah duluan!" Tanpa disadari, air mata dari pelupuk mata Allysia sudah mengalir deras, bahu dan mulutnya sudah bergetar hebat.
"Kamu kenapa out of topic banget sih, hah? Kenapa kamu malah bawa-bawa Shela di sini?! Jelas-jelas masalah ini nggak ada hubungannya sama sekali sama Shela! Bisa mikir nggak sih, kamu?!" balas Nathan dengan rahang yang mengeras, wajah yang memerah karena sudah tersulut emosinya.
"EMANG NGGAK ADA HUBUNGANNYA! TAPI AKU CUMA MAU KAMU MENGERTI AKU KAYAK AKU MENGERTI KAMU, NATH!"
Nathan baru saja hendak membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Allysia, namun sudah dipotong terlebih dahulu oleh cewek itu. "Udah lah, terserah. Aku capek. Nanti kita omongin lagi kalau udah nggak emosi." Lalu gadis itu berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Nathan begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Allysia
Teen FictionMalam itu... yang seharusnya menjadi akhir dari hidup Allysia, justru malah membuat Allysia membuka lembaran baru. Semua karena lelaki yang saat ini menjadi pacarnya, Nathanio Rajendra.. dia adalah alasan mengapa Allysia mengurungkan diri untuk meng...