.
."Kurang ajar! Mampus lu!"
Dua orang cowok maju berbarengan dan melayangkan bogem mentahnya ke arah gue.
Gue menghindar dan menarik tangan satu cowok dan memelintirnya. Hingga ia berteriak kesakitan. Lalu gue arahin mukanya ke penyerang gue yang satu lagi hingga tak ayal pukulannya malah kena ke temennya ini.
"Anjink! Kenapa lu malah mukul gue!"
"Eh sorry bro ga sengaja!"
Dua orang lagi maju dan gue mengait kaki salah satunya hingga jatuh terjerembab. Gue injak punggungnya sebelum gue layangkan sikutan tajam ke arah cowok yang satunya yang rambut merah.
"Anyink! Sakit!" gantian tuh cowok rambut merah mengait kaki gue hingga gue jatuh terjerembab. Si Doni yang diam aja dari tadi baru berani maju sekarang saat gue jatuh. Cih bangsat pengecut.
"Hiaaahhh" Doni maju sambil membawa cemeti dan berusaha mencekek leher gue dengan cemeti yang dia lingkarkan ke leher gue.
"Argghhh!!" gue mengerang kesakitan dan gue bisa melihat musuh-musuh gue mulai bangkit dan tertawa melihat keadaan gue. Sial! Gue ga boleh kalah!
Bughh
Gue menyikut perut si Doni. Dia menggerung kesakitan dan akhirnya cengkraman di leher gue mengendur. Gue memanfaatkan keadaan itu untuk membalikkan keadaan. Cemeti yang tadinya melilit leher gue, gue lilitkan balik ke leher si Doni dan gue tarik kuat-kuat.
"Kkreekkk... Uhhh.. Urrhh" si Doni megap-megap kehabisan nafas. Temen-temennya yang lain saling pandang ga berani maju.
Gue menjenggut rambut hitam si Doni hingga lehernya mendongak.
"A-ammmphhuunn.. " rengek Doni.
"Siapa yang bikin uke gue jadi kayak gini hah! Jawab!!"
"I-iya... Ghhue... Am... Phunnn"
Bruaghh
Kepala si Doni gue jedorin ke ujung tempat tidur hingga berdarah.
"Jadi gini cara maen klub lu? Ga pake konsen? Maen bikin pingsan anak orang? Hah?!"
Bruaghhh
Kepala si Doni gue jedorin lagi sekuat tenaga hingga si Doni pingsan. Lalu...
Bruagghhh
Gue merasakan kepala gue tiba-tiba pusing dan berkunang-kunang. Dan ada sesuatu yang mengucur di pelipis gue. Sesuatu yang basah dan bau amis.
Darah?
Heh.
Ternyata ada salah satu temen si Doni, si rambut merah, yang menggaplok kepala gue dengan pemukul kayu.
"Grrrr" gue menggeram dan melepaskan si Doni lalu berdiri berbalik. Mengusap darah yang mengalir di pelipis gue dan menjilatinya. Amis.
Si rambut merah saling lirik-lirikan dengan temannya.
Gue membuka kaos gue dan melilitkannya di kepala gue untuk menghentikan pendarahan.
"Sono lu hajar" salah satu cowok mendorong bahu si rambut merah.
"I-iya... Bantuin donk bro! Masa gue doang!"
"Ga ah. Serem. Cabut aja gue" salah satu temen mereka lari ke pintu dan kabur. Disusul satu temannya. Tersisa si rambut merah dan satu temennya yang berlindung di belakangnya.
"Jangan macam-macam lu!" Rambut merah mengangkat pemukul kayunya.
Gue berjalan tanpa takut mendekatinya.
"Duh ampun bang. Gue ga ikut-ikutan ah" satu temen terakhir si rambut merah akhirnya ikut kabur nyusul teman-temannya.
Greeppp
Gue mencengkram tongkat kayu si rambut merah dengan satu tangan dan mencengkram lehernya dengan tangan lainnya dan mendorongnya ke tembok.
Tongkat kayu itu jatuh ke lantai dan si rambut merah meringis dan berusaha melepaskan cengkraman tangan gue di lehernya.
"Bro... Please. Ayolah. Kita disini mau senang-senang kan. Lu mau make uke itu juga. Ayo sana. Lu duluan. Ga perlu gini juga kali. Kita di sini salome. Satu lobang rame-rame"
Anjink.
Gue meraung murka dan menonjok perut si rambut merah dengan tinju gue.
"Uke. Itu. Boyfriend. Gue. Bangsat!!"
Bughh!
Bruaghhh!
.
."Minggir"
Gue berkata dingin pada salah satu pasangan yang lagi makeout di tangga.
Mereka merengut marah namun langsung keder ngeliat penampilan gue yang berlumuran darah dengan kepala diperban kaos putih gue yang sekarang udah berubah merah.
"I-iya bang" kedua orang itu pun minggir memberi jalan sama gue yang berjalan menggendong tubuh Juna yang masih pingsan.
Kerumunan orang menyingkir sambil bisik-bisik saat gue lewat. Tapi ga ada yang berani menghalangi jalan gue termasuk satpam yang nunggu di pintu depan.
"Errr... Mas?"
Gue mendelik tajam padanya tanpa berkata apapun.
"Oh.. Inggih. Mau keluar ya.. Oke oke" dan pintu pun dibukakan bagi gue.
"Ummhhh... J-Jay?" Juna terbangun dan melihat berkeliling dengan linglung.
"Lu gapapa?" gue bertanya padanya cemas.
"Kepala gue pusing... " Juna turun dari gendongan gue. Gue menurunkannya hati-hati.
"Kuat naik motor ga lu? Apa kita panggil taksi aja? Kita pulang sekarang"
"Gapapa.. Kuat kok. Hanya... Eh? Kepala lu kenapa? Eh anjir lu berdarah Jay!"
Juna meraih dan menyentuh luka di kepala gue cemas.
"Gapapa bro. Lecet doank"
"Lecet dari Hongkong! Ini darahnya banyak banget! Ayo ke rumah sakit!"
"Ga usah"
"Jangan ga usah ga usah! Ayo! sini gue yang bawa motor!" Juna mencari kunci di celana jeans gue. Lalu berjalan mendekati motor kita dan memasukkan kunci ke stop kontak.
"Aduh" ia agak terhuyung. Gue buru-buru meraih tubuhnya.
"Udah ga usah bandel Jun. Lu kepalanya masih pusing kan. Biar gue aja" gue naik ke motor dan menstarternya. Juna naik di belakang gue.
"Eh Jay lu mau naik motor topless gini? Ntar masuk angin lho. Nih pakai jaket!"
"Ga usah Jun... lu aja. Baju lu juga ilang kan. Gapapa. Lu aja yang pake. Gue masih kuat" gue memundurkan motor dan mulai berjalan meninggalkan tempat itu. Ga pake helm. Karena kepala gue nyut-nyutan sakit banget. Lahaola ajalah. Semoga ga kena razia polisi.
"Kalau lu ga kuat lagi bilang ya. Ntar gantian!" seru Juna di belakang.
"Iya" gue tersenyum dan meremas tangan Juna yang melingkari pinggang gue.
Tapi sampai kita sampai di kosan, gue ga ngizinin Juna gantian bawa motor. Gue ga tega. Kasian. Pasti dia masih sakit dan trauma atas peristiwa tadi.
Alhamdulillah akhirnya kita sampai selamat di kosan. Gue turun diikuti Juna.
Anjink. Ini kenapa kepala gue nyut-nyutan makin parah...
Di depan gue ngelihat si Juki lagi nyuci mobilnya sambil bersenandung.
Tunggu...
Kenapa si Juki makin lama makin terlihat buram?
Gue berhenti berjalan dan akhirnya pandangan gue gelap. Dan hal terakhir yang gue ingat adalah Juna yang berteriak memanggil nama gue.
.
.TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
✔️ Jay & Juna
General FictionJusuf Habibie, cowok manis berkulit putih bersih asal Bandung, memulai hari barunya sebagai mahasiswa Unpaj Jakarta dengan penuh harapan. Namun tak disangka hari-harinya menjadi lebih berwarna karena kehadiran sosok teman sekelompoknya, cowok macho...