(Juna pov)
"Habibie, kamu imam"
"Muhun abah"
Jay menurut dan maju ke depan. Anjirrr. Sumpah baru kali ini gue ngeliat si Jay nurut banget sama perintah orang lain.
Biasanya kan dia orangnya ga mau diatur, semau gue, dengan ego seluas jagat rata setinggi langit di angkasa.
Tapi emang sih abahnya ini auranya kuat banget. Serem. Mantan preman ternyata.
"Arjuna, kamu ikomat"
"Inggih Bah" badan gue bergerak sendiri mengikuti perintah si abah.
Gue ikomat sebisa gue. Untung masih inget gue bacaannya.
Ya jujur aja soal ibadah gini gue masih belang betong. Sholat aja cuma Jumatan doank. Itu juga harus diajak-ajakin sama si Juki dulu.
Gue mundur lagi setelah ikomat dan bergabung dengan makmum lain.
"Rapatkan barisan" ucap si Jay yang sekarang jadi imam.
Setelah itu si Jay pun mulai memimpin sholat Jumat kita siang ini.
.
..
."Weh... Gila. Gue ga nyangka ternyata bacaan sholat lu bagus banget bro" ucap gue kagum setelah kita pulang dari mesjid. Terus kita ngobrol sambil makan cireng dan bala-bala bikinin si Ambu di balkon loteng.
"Ya... Gitu deh" si Jay nyengir awkward.
"Sebenarnya gue dulu juga pernah belajar di pesantren"
"Hah?!" gue melongo ga percaya. Masa iya? Si Jay yang setau gue bad boy, mantan leader geng tawuran, mantan playboy cap kapak, dulunya pernah mondok?
"Yeee... Emang kenapa" si Jay menyikut gue yang bengong.
"Terus kenapa lu jadi nakal gitu kalau sebenarnya basic agama lu kuat?" tanya gue penasaran.
"Yah namanya juga manusia" si Jay mengangkat bahu.
"Waktu kecil gue dididik ama abah dengan sangat keras dan disiplin. Namanya anak lelaki kata abah harus kuat, strong, calon imam. Makanya gue diajari ilmu bela diri, ilmu agama, dan macam-macamlah. Sejak kecil"
"Terus?"
"Gue mondok sampai SMP. Di sekolahan yang masih ada di lingkungan pesantren juga. Lalu entah ada setan darimana tiba-tiba gue merasa pengen tau aja gitu dunia luar itu kayak gimana. Penasaran gue. Jadi saat mau masuk SMA gue minta sama abah pengen masuk SMA yang ada di Bandung Kota. Alasannya dulu gue bilang ingin ikut olimpiade Matematika, hahaha... "
"Wah terus?" gue menyeruput teh gue. Seru juga ternyata kisah hidupnya si Jay ini.
"Karena terlalu jauh dari rumah jadi gue ngekost di kosan yang deket SMA gue. Dan disanalah akhirnya gue terbawa pergaulan temen-temen gue yang bobrok... Yang tadinya gue selalu jaga jarak ama cewek bukan muhrim karena dilarang agama, setelah gue jauh dari rumah yaudah gue jadi bebas lepas liar senakal-nakalnya"
"Oh gitu?"
"Iya. Ga ada batasan lagi buat gue. Nyobain ini itu. Berantem, tawuran, pacaran, nyobain minum, narkoba, pokoknya semua kesenangan dunia gue cobain semua. Hehe" si Jay mengusak rambutnya.
"Dan saat itulah gue ketemu Teh Yuni"
"Teh Yuni?"
"Oh itu lho. Cewek gue yang gue hamilin itu... " Jay meringis.
Gue manggut-manggut dan menggigit cireng gue.
"Yah. Cerita selanjutnya lu udah tau kan gimana. Si teh Yuni hamil gara-gara gue terus... " si Jay mengendikkan bahunya seolah mengusir kenangan buruk.
"Iya ya gue tau. Kan lu udah pernah cerita" gue menepuk bahunya pelan. Emang si Jay juga pernah curhat kan gimana kejadian itu bikin dia trauma dan akhirnya dia belok dan terjun bebas ke dunia pelangi. Karena dia ga mau lagi ngehamilin cewek.
"Kalau abah lu gimana?"
"Abah?" si Jay celingukan melihat berkeliling namun hanya ada kita berdua di loteng ini.
"Seperti gue bilang, abah dulunya preman. Dan bukan preman biasa. Dia itu semacam ketuanya atau leadernya gitulah. Dulu dia sangat ditakuti dan disegani. Itu cerita Ambu gue"
"Oh... Terus kok beliau bisa pensiun?"
"Yah namanya hidayah bisa datang kapan aja" Jay mengangkat bahu.
"Iya tadi juga di mesjid orang-orang kayaknya segan dan hormat banget sama abah lu"
"Ya begitulah"
.
.Gue menghabiskan waktu sekitar satu minggu di rumah si Jay. Dan selama itu pula gue jadi rajin ibadah. Heu...
Mau gimana lagi. Si abah selalu memaksa kita agar sholat jemaah di mesjid. Bukan cuma pas hari Jum'at doank. Kata si abah, cowok itu sholatnya di mesjid. Gitu.
"Hoaaammm" gue menguap subuh-subuh saat kita lagi jalan mau sholat subuh. Abah jalan di depan. Gue dan si Jay jalan di belakangnya.
"Heh! Jangan nguap" si Jay nyikut gue sambil tertawa geli.
"Ngantuk" bisik gue. Takut kedengaran si abah.
"Ayo, lebih cepat nanti keburu ikomat" ucap si Abah tanpa menoleh ke belakang.
Gue menelan ludah dan jalan lebih cepet menuju masjid.
.
.Beberapa hari kemudian.
Siang itu gue dan Jay siap-siap mau balik ke Jakarta kembali ke kosan. Sebenarnya kuliah masih seminggu lagi tapi kan kita mau nyariin kosan dulu buat si Tata. Lagian gue udah kangen sama si Moni.
"Hati-hati ya di jalan. Kalau udah sampai kabarin" ucap teh Dewi. Suaminya Teh Dewi ini kerja di pelayaran makanya dia sering ditinggal-tinggal.
"Iya teh" saut kami berdua kompak.
Kita salim juga sama Ambu yang memaksa kami membawa banyak oleh-oleh makanan buat di kosan nanti.
"Abah, Habibie sama Arjuna pamit dulu" Jay salim sama abahnya. Gue ikut salim dan mencium tangan abahnya.
Grepp.
Eh?
Gue merasakan si Abah mencengkram bahu gue erat.
"Arjuna"
"I-iya abah?"
"Jaga diri baik-baik ya. Jangan tinggalkan sholat. Sholat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar"
"Inggih, Bah" gue menunduk. Tak sanggup membalas menatap matanya.
"Kamu juga Habibie" Abah menatap putra bungsunya.
"Jangan khianati kepercayaan abah lagi ya. Kamu paham?"
"Paham Abah" Jay mengangguk dan nunduk juga.
Aduh anjir. Serem gini.
.
Gue menghela nafas lega saat akhirnya kami sudah ada di Grab car yang akan membawa kami ke Jakarta.
"Fiuhhh" gue menghempaskan diri di jok mobil belakang.
"Jay"
"Hm?"
"Bener kata lu. Gue mendingan tawuran sama anak GRC tangan kosong juga gapapalah dah. Daripada menghadapi abah elu"
.
.TBC
Chapter 53 "Home Sweet Home" gue upload di
karyakarsa.com/rinchan22
(Link di bio profil)
KAMU SEDANG MEMBACA
✔️ Jay & Juna
General FictionJusuf Habibie, cowok manis berkulit putih bersih asal Bandung, memulai hari barunya sebagai mahasiswa Unpaj Jakarta dengan penuh harapan. Namun tak disangka hari-harinya menjadi lebih berwarna karena kehadiran sosok teman sekelompoknya, cowok macho...